Dapat dibilang pernikahan yang dilakukan hanya untuk menutupi aib keluarga, terlebih lagi warga desa Blitar yang masih memegang teguh moral dan adat setempat. Rasa egoisme yang masih menggebu-gebudari pasangan yang dapat dibilang belum siap alias kaget, menghadapi kenyataan membuat salah satu dari kedua belah pihak memilih jalan untuk lebih memilih jalan hidup masing-masing.
Kasus ini menjadikan Pemerintah harus bertindak secara persuasif mengingat semakin meningkatnya angka perceraian di Blitar. Pemerintah sepatutnya tidak tinggal diam terkait menanggapi kasus ini. Sebenarnya pihak pengadilan agama telah melakukan penyuluhan hukum tentang perceraian kepada masyarakat Blitar. Tidak hanya sekali namun banyak kegiatan yang secara tidak langsung membangun keharmonisan keluarga. Kasus perceraian bukan kesalahan dari Pemerintah atau beberpa pihak yang mungkin terkait.
Harusnya masalah ini dikembalikan lagi kepada masyarakat yang mengalaminya. Ketika terjadi masalah dalam rumah tangga, diharapkan masyarakat bisa menyelesaikannya secara kekeluargaan terlebih dulu. Karena masalah yang biasanya bermula dari kerabat dekat terutama keluarga seperti kasus perceraian yang marak terjadi harusnya dapat diakhiri oleh keluarga yang bersangkutan. Pasalnya keluargalah yang lebih tau bagaimana sifat dari masing-masing anggota keluarga. Karena dari keluarga keharmonisan keluarga dapat terjaga. Peran agama dan implentasinya nampaknya semakin memudar karena perceraian merupkan tindakan yang sangat dibenci oleh Alloh swt meskipun diperbolehkan.
Kasus mikro di Blitar menjadi pelajaran yang berharga untuk level Nasional. Peran lembaga pernikahan sangat krusial, masalah ekonomi dan modernisasi serta peran agama hrs tetap dikedepankan. Pernikahan harus siap secara psikis,fisik, ekonomi dan agamis untuk menuju perkawinan yang lestari.