Oleh: Dahlan Iskan
Azan tetap berkumandang lima kali sehari. Termasuk sekarang ini. Di saat Islam merasa menjadi minoritas yang sulit di India.
Azan itu terdengar dari jauh. Dari masjid aliran Ahmadiyah di Qadian. Yang menaranya sangat tinggi itu.
Pun azan di situ tetap dikumandangkan di masa tersulit Islam di India.
Itu tahun 1947. Ketika umat Islam di Punjab Timur harus tergopoh-gopoh lari ke Punjab Barat.
Dan umat Hindu di Punjab Barat tergopoh harus pindah ke Punjab Timur.
Hari itu India merdeka dengan amat rusuhnya. Merdeka dalam bentuk dua negara. Hindu di Timur. Islam di Barat. India dan Pakistan.
Masjid-masjid di Punjab Timur ditinggalkan. Pun madrasah. Pura di Barat ditinggalkan. Perang agama terjadi. Jutaan orang tewas.
Di tengah suasana kalut itu terjadi diskusi di Desa Qadian. Apakah masjid besar di situ juga harus ditinggalkan. Padahal ada makam Mirza Ghulam Ahmad di dekatnya. Ada juga masjid kecil yang bersejarah. Masjid pertama. Yang didirikan junjungan mereka. Termasuk ada pula rumah tempat kelahiran Mirza.
Mereka pun sepakat untuk mempertahankan Masjid Qadian. Apa pun yang terjadi. Sampai pun kalau nyawa harus melayang.
Kesepakatan itu lantas menjadi putusan khalifah mereka.
Tapi semua wanita harus mengungsi. Demikian juga anak di bawah 18 tahun. Dan laki-laki di atas 55 tahun.
Hanya para pemuda yang ditugaskan tetap tinggal di Qadian.
Jumlah mereka pun ditentukan: 313 orang. Sesuai dengan yang ikut perang Badr –di zaman Nabi Muhammad.
Semangat Perang Badr memang mewarnai jiwa 313 orang itu.
Tapi mereka bertekad hanya bertahan untuk menjaga masjid.
Seperti juga di Perang Badr mereka tidak punya niat perang.
Semua yang bertugas di Qadian diberi surat tugas langsung oleh khalifah mereka. Termasuk seorang pemuda yang terlanjur berangkat mengungsi.
Surat khalifah itu ia terima di perjalanan. Saat mengantar ibunya ke perbatasan.
Begitu menerima surat itu justru sang ibu yang berkeras. Agar anaknya kembali ke Qadian.
Sang ibu mengatakan bahwa dia bisa mengungsi bersama pengungsi lainnya.