Oleh: Reni Tresnawati
(Aktivis Muslimah Karawang)
Kancah pemilihan kepala desa (pilkades) dengan politik uang (money politic) sudah tidak asing lagi dan sesuatu hal yang lumrah di telinga masyarakat, termasuk para panitianya. Hal ini membuat sejumlah bakal calon (balon) galau, apalagi yang tidak terlalu memiliki modal besar.
Joni Karter (39) contohnya. Bakal calon kepala desa yang akan bertanding di pemilihan kepala desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, merasa resah dengan dengan politik uang yang di perkirakan mewarnai pesta demokrasi. ” Saya yakin masyarakat tidak akan tergoda dengan politik uang, ” uangkapnya kepada Radar Karawang. Jumat, 27/12/19.
Saepudin Permana, anggota Komisi A DPRD Karawang, mengaku bingung. Karena dalam pilkades tidak diatur secara detail pelanggaran dan sanksinya. ” Dari dulu kalau pilkades seperti itu (politik uang), karena memang tak ada aturannya, “ujarnya.
Rochmat Basuki, praktisi Pengawasan Pemilu mengatakan, dalam Undang-undang Desa tidak ada aturan jelas mengenai mekanisme penanganan tindak pidana politik uang. Sangat berbeda dengan UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU tentang Pemilihan Kepala Desa yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang. ” Seharusnya UU Desa menyediakan dasar mengatasi dan menuntaskan masalah tersebut. Nyatanya hal itu tidak terjadi dan politik uang terus menjamur bagai hantu yang tidak bisa disentuh, namun selalu menampakkan bentuk, “ungkapnya.
Modus atau money politic dalam pilkades meliputi empat pola. Pertama, membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon kepala desa lawan, dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara. Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk membagikan uang. Ketiga, serangan fajar. Keempat, penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon kepala desa, yakni bandar atau pemain judi. Sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi money politic, diantaranya faktor kemiskinan. Money plitic menjadi ajang masyarakat mendapatkan uang. ” Mereka yang menerima suap dan jual beli suara yang melanggar hukum, ” katanya.
Politik uang sudah mendarah daging di tubuh demokrasi. Suap menyuap kepada masyarakat agar bakal calon dipilih, memerlukan biaya mahal. Sementara orang yang kekayaannya menengah ke bawah tak mungkin bisa mengikuti ajang pemilihan kepala desa. Akhirnya yang naik konglomerat atau seseorang yang di dukung pengusaha. Hasilnya, yang menjadi pejabat yaitu dia yang menjaga kepentingan Pengusaha dan bisnis konglomerat itu sendiri. Wal hasil, problematika yang menyelimuti umat tak bisa tersingkap dan terselesaikan.