Redaktur saya yang di Pontianak itu juga sudah tidak membiakkan arwana lagi. Ia sudah meninggal dunia.
Tidak mudah membiakkan arwana –mungkin karena itu HaHa memilih lebih bersemangat membiakkan sahamnya.
Sesukses-sukses jualan anak arwana tidak akan bisa laku Rp 6 triliun. Jualan saham arwana hanya perlu sedetik untuk klik. Langsung bisa laku Rp 6 triliun.
Padahal untuk membiakkan arwana perlu menunggu indukannya bertelur. Lalu sang induk menaruh telur itu di mulutnyi. Sampai menetas di situ.
Arwana yang sudah menetas tidak langsung dilepas ke air bebas. Tetap disimpan dulu di mulut sang ibu. Menunggu dulu sampai si janin mampu berenang gesit. Tujuannya: agar begitu keluar dari mulut sang ibu bisa langsung lari kencang –menjauhi pemangsa. Bayi ikan arwana memang sasaran yang empuk untuk dimakan ikan lainnya.
Di mulut sang ibu itu bisa hidup 30 sampai 90 janin arwana. Kalau tidak percaya tanyalah Tukul bin Arwana. Pasti ia juga tidak tahu.
Maka orang seperti HaHa harus tahu: kapan sang induk sudah waktunya membuka mulut. Lalu memindahkan sang induk ke kolam khusus –agar membuka mulut di situ.
Kadang sang induk tidak mau membuka mulut –untuk melindungi janin anak-anaknyi. Maka petugas kolamlah yang akan mengocok-ngocok mulut induk arwana itu.
Di bursa saham tidak perlu berurusan dengan mulut arwana. Hanya mata yang harus jeli: kapan pengawasan OJK lagi lemah. Kapan pula pengawasan publik lagi minim.
Orang seperti HaHa jeli: saat menjelang pilpres adalah waktu yang paling tepat.
Pada waktu seperti itu perhatian publik lagi ke pilpres. Perhatian DPR juga lagi ke RUU mana yang harus dikejar untuk disahkan.
Masak sih hanya Carlos Ghosn yang tahu kapan saat yang tepat untuk berbuat sesuatu. Agar bisa lari dari tahanan di Jepang dengan dramatik.
HaHa –demikian juga Benny (Bentjok) Tjokrosaputra– pasti tidak kalah cerdik dari mantan CEO Nissan-Renault-Mitsubishi itu.
Coba pikir, mana yang langkahnya lebih dramatik? Ghosn atau Bentjok dan HaHa?