Kiai Migas

0 Komentar

Begitu damainya perjalanan terakhir nafas Gus Sholah.
Husnul khotimah.
Amin.
Dari kediaman Gus Sholah ini saya menuju makam. Yang letaknya hanya beberapa belas langkah di depan rumah itu.
Di makam itulah Presiden Gus Dur dimakamkan. Di situ juga Gus Sholah dikebumikan.
Begitu banyak orang yang datang. Termasuk yang dari Blitar, Bondowoso, Situbondo, dan banyak lagi. Mereka duduk bersila untuk mengucapkan tahlil di dekat makam itu.
Saya pun beralih lagi ke rumah induk di Pondok Tebu Ireng itu. Yang hanya tiga rumah di sebelah rumah Gus Sholah. Saya masih juga terus bersama Gus Irfan.
Di rumah induk inilah saya ditemui Gus Kikin. Yang nama lengkapnya adalah Abdul Hakim Mahfudz.
Suguhan tamu di situ banyak sekali. Saya pilih makan duku saja. Yang sangat manis dan lezat itu.
Gus Kikin itulah yang telah ditunjuk menggantikan Gus Sholah menjadi pimpinan tertinggi Tebu Ireng.
Kami duduk bersila di ruang depan rumah induk itu. Ngobrol banyak hal. Tapi saya yang memulai bicara.
“Jadi, Gus Kikin ini ternyata mondok di mana-mana ya?” kata saya. Ada semacam permintaan maaf di balik pertanyaan itu.
“Awalnya di pondok Sunan Ampel, lalu ke pondok Seblak,” ujar Gus Kikin. “Setelah itu lebih banyak ngaji ke ayah,” tambahnya.
Pondok Sunan Ampel adalah pondok kecil di dalam kota Jombang. Sedang lokasi pondok Seblak hanya selemparan batu dari Tebu Ireng.
Ayah Gus Kikin sendiri seorang kiai. Ibunya adalah sepupu Gus Dur. Kakek dari ayahnya juga kiai besar, KH Maksum. Yang karya beliau menjadi buku pegangan di pesantren: Kitab Amshilatut Yashrifiyah.
Itulah kitab etimologi yang sampai sekarang masih diajarkan di Pondok Tebu Ireng.
Kini Gus Kikin sendiri yang mengajarkan kitab kuning itu kepada para santrinya.
Gus Kikin juga masih mengajarkan kitab kuning populer lainnya: Durusul Falaqiyah.
Dari pesantren itu Gus Kikin masuk akademi yang tidak akan Anda sangka: Akademi Pelayaran di Jakarta. Sampai selesai. Sampai memiliki kemampuan mengemudikan kapal.

0 Komentar