Masa tunggu itu paling lama dua bulan.
Itu berarti memang ada fungsi ”resi gudang” di dalam PT ini.
Hanjar juga mengusahakan pasar yang harganya bisa diikat dalam kontrak jauh-jauh hari. Misalnya supermarket.
Di sinilah PT Pengayom juga bisa memfungsikan diri sebagai Bulog untuk para anggotanya. Yakni untuk menjaga agar harga gabah tidak jatuh pada masa panen.
Bupati Wonogiri, Joko Sutopo pun, akhirnya juga percaya pada PT Pengayom. Bupati membuat keputusan berani: menunjuk PT Pengayom menjadi pelaksana penyaluran beras untuk orang miskin. Yakni program pemerintah yang dulu diserahkan ke Bulog.
Lewat PT Pengayom itu bupati Sutopo bisa memangkas proses yang panjang.
Petani menyerahkan gabah ke Pengayom. Pengayom menyerahkan beras ke orang miskin. Tidak ada peran tengkulak di proses ini.
Jalur aliran berasnya pun pendek. Orang miskin bisa mendapat beras yang lebih baik.
Terakhir ini PT Pengayom mendapat kepercayaan lebih tinggi lagi: diminta mengelola gudang besar di Wonogiri yang yang sudah bertahan-tahun nganggur.
Dengan ‘cashback’ tiap musim panen itu petani sudah merasa mendapat deviden.
Karena itu di setiap RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) tidak ada permintaan bagi deviden. Belum pernah ada pembagian laba dalam bentuk deviden murni.
”Deviden tidak dibagi untuk terus menjadi laba ditahan. Uangnya untuk pengembangan perusahaan,” ujar Hanjar.
Itulah sebabnya modal dasar PT Pengayom yang awalnya hanya Rp 250 juta kini sudah menjadi Rp 5 miliar. Dengan omzet yang sudah di atas Rp 100 miliar.
Memang Hanjar sangat mengeluhkan soal pajak. ”Ini kan usaha tani. Masih awal dan kecil. Tapi kami harus membayar pajak yang besar,” ujar Hanjar.
Saya jawab: Itulah konsekuensi lembaga berbentuk PT.
Apalagi kalau semua selisih harga tadi –yang jadi cashback tadi– dimasukkan sebagai laba. Laba perusahaan menjadi terlihat besar. Tagihan pajaknya pun besar.
Mungkin, demi pengembangan usaha tani ini, Hanjar harus bisa mencari cara bagaimana agar cashback itu tidak dibukukan sebagai laba. Yang penting jangan menggelapkan pajak.
Tapi biarlah Hanjar tidak usah dibantu. Tidak usah pula diberi nasehat. Biarlah ia kebentur-bentur seperti itu. Ia masih muda. Umurnya 33 tahun. Ia sangat cerdas. Bisa belajar sendiri dari keterjepitannya itu.