“Umumnya bentuk sungai menunjukkan pola yang berbentuk meander sehingga akan menghambat aliran banjir. Proses agradasi atau penumpukan sedimen lebih dominan terjadi. Material dasar sungai lebih halus dibandingkan di daerah transisi atau daerah hulu. Apabila terjadi banjir, periodenya lebih lama dibandingkan daerah transisi maupun daerah hulu,” ungkap Iskandar.
Dia melanjutkan, di beberapa tempat pada daerah ini, biasanya terjadi penumpukan sedimen halus, yang dianggap oleh masyarakat di sekitar sungai sangat subur tanahnya. Makanya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, sehingga sebenarnya mengganggu pola aliran sungai itu sendiri. Sekaligus membahayakan para petani itu sendiri, karena rentan terhadap banjir, terlebih jika musim hujan seperti saat ini.
“Berdasarkan sumber airnya, sungai Cipunagara dikelompokkan sebagai sungai hujan. Sungai Cipunagara airnya berasal dari air hujan atau sumber mata air. Berdasarkan debit airnya, sungai Cipunagara dikelompokkan sebagai sungai periodik. Kelompok sungai ini pada musin hujan airnya banyak, sedangkan pada musim kemarau airnya kecil,” tambahnya lagi.
Dia menyebut banjir Pamanukan bisa saja disebabkan oleh tata guna lahan di sekitar sungai Cipunagara, yang tidak mendukung bagi ketersediaan ruang aliran air. “DAS Cipunagara pada seluruh bagian rata-rata sudah berubah menjadi lahan pesawahan dan perkebunan atau bahkan industri dan pemukiman,” katanya.(idr/vry)