Namanya: Institute Abdul Chalim –untuk menghormati bapaknya. Sudah pula memiliki mahasiswa dari 10 negara.
Tapi Kiai Asep belum puas dengan semua itu. Ia akan terus mengembangkan pendidikan. Sampai terbayar ”dendam” nya waktu kecil.
Waktu itu awal Orde Baru. Sepanjang jalan di Jatim –arah Pandaan– banyak berdiri pabrik baru. Mayoritas milik asing.
Ia pun berpikir siapa yang akan bekerja di situ. Pasti hanya yang berpendidikan dan yang pintar. Tidak mungkin pribumi Islam bisa bekerja di situ.
Maka Asep muda menetapkan arah hidupnya: meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Lewat pendidikan.
Itu tidak mudah. Ayahnya meninggal saat Asep masih kelas 2 SMPN 1 Sidoarjo. Tidak ada lagi kiriman bekal hidup.
Apalagi ia anak bungsu dari 21 bersaudara.
Kisah Asep di SMP ini dituturkan dengan sangat baik oleh . Gatot Sujono –teman satu kelasnya.
Di forum penganugerahan itu Gatot –juga saya– diminta memberikan testimoni. Tugas itu ia laksanakan dengan amat menarik dan lucu.
Saat sekolah di SMP dulu Asep tinggal di pondok pesantren Al Khoziny –yang didirikan oleh KH Abbas Khozin.
Ayahnyalah yang menitipkan Asep kecil di situ. Sang ayah memang pernah lama di Jatim –berguru ke KH Wahab Chasbullah yang juga salah satu pendiri NU.
Di pondok itu semua santri masak sendiri –kecuali Asep. Itu karena Asep tidak punya bahan yang bisa masak.
Tengah malam barulah Asep ke dapur. Ia mencucikan tempat masak santri lainnya –yang biasanya digeletakkan begitu saja tanpa dicuci. Tujuan lainnya: mendapatkan sisa nasi yang biasanya tertinggal di dasar tempat tanak. Yakni nasi yang sudah jadi intip-kerak.
Semua alat masak temannya bersih. Ia pun dapat makanan –sekali itu dalam sehari.
Di pondok itu Asep belajar kitab-kitab agama di malam hari. Pagi-pagi berjalan kaki ke SMPN 1 Sidoarjo –sejauh sekitar 5 Km.
Asep juga hanya mempunyai satu buku tulis –pelajaran apa pun ditulis di satu buku situ.
Gatot berteman akrab karena satu bangku dengan Asep di pojok paling belakang.
Pun waktu keduanya meneruskan sekolah di SMAN 1 Sidoarjo.