Oleh: Dahlan Iskan
Kejadian ini benar-benar sulit dijelaskan. Kalau pun bisa diuraikan apa penyebabnya tidak bisa dijelaskan apa tujuannya.
Tiba-tiba saja harga minyak mentah turun drastis-tis-tis-tis.
Dari yang sudah rendah –sekitar USD 55/barel– menjadi hanya USD 30 dolar. Senin kemarin.
Berita virus Corona langsung kalah viral –mungkin juga kalah dalam memperburuk ekonomi dunia.
Awalnya di sidang OPEC –organisasi negara pengekspor minyak mentah– gagal sepakat. Mungkin karena Presiden Indonesia tidak hadir di sidang itu –Indonesia sudah bukan lagi anggota OPEC. Sejak impornya lebih tinggi dari ekspornya.
Sidang itu inginnya satu: menaikkan harga minyak dunia. Harga USD 50/barel dianggap terlalu rendah. Mereka pernah menikmati harga minyak USD 90 dolar/barel dalam kurun yang panjang. Bahkan pernah di atas USD 100/barel.
Negara-negara OPEC pun kebanjiran dolar –menjadi disebut negara petrodolar.
Masa panen raya itu tidak pernah terjadi lagi sejak lebih lima tahun lalu. Yakni sejak Amerika Serikat menemukan sumber minyak/gas baru. Tepatnya: sejak Amerika menggalakkan teknologi baru di bidang pengambilan gas.
Itulah yang disebut shale gas. Dengan tehnologi baru itu Amerika mampu menyedot gas dari retakan-retakan bebatuan.
Sejak itu Amerika tidak lagi tergantung dari minyak OPEC. Bahkan Amerika bisa disebut telah swasembada migas. Justru Amerika belakangan menekan Tiongkok untuk mau beli gas dari Amerika.
Untung ada negara lain yang kian haus energi: Tiongkok, India, Pakistan dan –kecil-kecilan– Indonesia. Meski begitu tetap saja harga minyak mentah tidak bisa balik lagi ke USD 90/barel.
Untuk bisa menaikkan lagi harga migas itu OPEC menggunakan ide lama: kurangi produksi. Agar migas agak langka. Lalu harga akan naik dengan sendirinya.
Ide lama itulah yang juga dibahas di sidang OPEC terakhir –5 Maret kemarin di Austria, kantor pusat OPEC.
Arab Saudi, sebagai produsen terbesar, sudah bersedia menurunkan produksi minyaknya. Dari 11 juta barel ke 10 juta barel/hari.
Tapi negara lain keberatan. Itu karena produksi mereka tidak terlalu banyak. Saudi-lah yang diharapkan menurunkan lebih banyak lagi.