Sebenarnya, awal 2019 lalu Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Persetujuan Impor (PI) 1,4 juta ton gula mentah (raw sugar) untuk diolah menjadi gula kristal rafinasi (GKR) bagi keperluan industri. Adapun PI tersebut merupakan bagian dari kuota impor gula mentah untuk keperluan industri 2019 sebanyak 2,8 juta ton.
Kuoto impor jadi kue lezat menggiurkan para pemburu rente meraup untung. Distorsi harga domestik (Rp 14.500) per kg dengan harga internasional sekitar (Rp 4.500 ) per kg atau sepertiga harga jual gula kristal putih eceran dalam negeri. Hal tersebut membuat Indonesia kian terlena dalam kubangan kelompok negara elit net importir gula.
Kondisi ini ikut mendorong tumbuh suburnya para pemburu rente. Kondisi demikian ikut andil menjegal gagalnya kemandirian ekonomi nasional sektor pergulaan yang dicanangkan lewat swasembada gula yang mundur pada 2024.
Upaya Perbaikan
Pemerintah perlu fokus pada perbaikan kesejahteraan dan kedaulatan petani tebu sebagai penghasil bahan baku gula. Ketika kesejahteraan mereka meningkat, kegairahan bertani tebu semakin besar sehingga produksi tebu akan naik.
Kebijakan selama ini dinilai tidak efektif, terbukti dengan mandeknya produksi gula tetapi gila-gilaan mengejar impor. Tanpa keberpihakan pada petani lokal, iklim usaha tebu rakyat akan mati perlahan.
Selanjutnya, perlu peningkatan luas areal perkebunan tebu, dan meningkatkan produktivitas (menaikan rendemen gula), efisiensi pabrik dinaikan dengan teknologi mesin giling baru. Revitalisasi pabrik BUMN yang sudah usang untuk meningkatkan kapasitas produksi perlu ditekankan lagi.
Disamping meningkatkan efisiensi agar produksi gula rakyat (non rafinasi) lebih kompetitif. Dengan demikian bisa mereduksi disparitas harga gula rakyat dengan gula impor.
Tak kalah penting perbaiki data gula. Perlu menyusun neraca gula yang akurat, untuk memastikan ketersediaan dan kebutuhan, berguna untuk mengelola pasokan dalam meredam gejolak harga gula dunia. Kemudian, beri petani tebu kita harga jual yang menguntungkan, lindungi pasar domestik nya dari serbuan produk gula impor yang semakin masif, permudah akses permodalan. Jangan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas yang menjerat.
Kerjasama harmonis antar kementrian atau lembaga terkait dinilai perlu. Pemerintah sebaiknya meninjau ulang sistem kuota impor. Skema tersebut terbukti hanya jadi bancakan elit tertentu dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Bila tidak bergerak cepat target baru swasembada gula 2024 hanya halusinasi ditengah stagnasi ekonomi.(*)