Orang juga bingung mencari penggali kubur. Apalagi kalau penggali kubur pun sudah tidak ada. Atau sudah kewalahan.
Tidak ada lagi yang berpikir: dari mana dapat penghasilan. Tidak ada lagi yang heboh dari mana mendapat makan.
Kapan kah suasana mencekam itu akan datang? Bulan apa?
Atau tidak akan datang?
Katakanlah masa seperti itu tidak akan datang. Seperti juga kita dulu merasa tidak akan ada Covid-19 di Indonesia.
Alhamdulillah.
Kalau ternyata tiba?
Pasti kita akan melakukan juga lockdown. Apa boleh buat. Selama tiga bulan. Tiga bulan setelah lockdown kita bisa lega.
Kalau ujung-ujungnya kelak lockdown juga mengapa tidak berakit-rakit ke hulu?
Kita sudah sakit sekarang –meski belum parah. Sampai parah nanti kita tetap sakit. Setelah parah makin sakit.
Mengapa tidak sakit sekarang saja? Tiga bukan lagi lega?
Saya bukan ahli matematika yang bisa menghitung pertambahan orang sakit. Saya bukan dokter. Saya bukan ahli penyakit menular. Saya bukan pemerintah. Saya bukan ahli agama. Saya bukan peramal. Saya bukan siapa-siapa.
Saya hanya bisa berharap obat anti Covid itu segera lahir –dari Wuhan. Atau dari mana pun.
Kalau doa itu terkabul saya akan ke Wuhan lagi seperti dulu-dulu. Saya tahu tempat-tempat makan yang enak di Wuhan. Terutama yang di sepanjang pinggir sungai Changjiang yang lebar, indah, dan gemerlap itu.