Banyak pengurus masjid yang ingin studi banding ke sini: bagaimana bisa tetap melaksanakan salat Jumat tapi dengan SOP yang ketat.
Itulah Masjid Agung Surabaya. Salat Jum’at tetap dilaksanakan minggu lalu. Tapi prosedurnya baru sama sekali.
Begitu masuk halaman orang harus cuci tangan dulu. Dengan sabun. Di beberapa kran yang baru dibangun. Disediakan sabun di situ.
Diawasi oleh petugas.
Setelah cuci tangan mereka baru boleh ke tempat wudlu –untuk berkumur, membasuh muka, membasuh telinga, membasuh lubang hidung, mengusap rambut dengan air, membasuh tangan sampai atas siku, membasuh kaki. Masing-masing tiga kali. Di air yang sedang mancur.
Semua orang, sebelum salat, harus melakukan wudlu seperti itu. Kalau tidak, salatnya tidak sah.
Selesai berwudlu barulah mereka masuk masjid. Tapi sebelum masuk masjid harus melewati dua prosedur baru: diukur temperatur badannya. Lalu harus masuk ke bilik disinfektan.
Setelah itu jamaah masih harus mengenakan masker. Petugas masjid membagikan masker gratis untuk mereka.
Hanya mereka yang mengenakan masker yang diizinkan masuk masjid.
Dari 45 pintu, kini hanya tiga pintu yang dibuka. Satu dari arah selatan, satu dari arah timur dan satu lagi dari arah utara. Itu agar yang masuk masjid lebih bisa terkontrol.
Tentu kini harus antre –dan petugas mengawasi antrean itu agar jarak antarorang tetap terjaga
Di dalam masjid itu juga ada pemandangan baru: tidak ada lagi karpet. Semua karpet dilepas. Agar tidak ada virus yang bersembunyi di karpet itu. Jamaah salat di atas marmer.
Kebetulan desain pemasangan marmernya dulu sangat tepat. Di setiap 120 cm diberi hiasan kecil marmer warna hitam.
Dulunya itu hanya penanda barisan salat. Kini hiasan itu menemukan fungsinya –selain untuk keindahan. Yakni sebagai penanda jarak.
Jamaah tidak boleh lagi salat berhimpitan. Harus berdiri di penanda hitam itu.
Saya jadi teringat pertanyaan dari peserta senam seminggu sebelumnya. Waktu itu saya mengharuskan peserta senam jaga jarak. Tidak hanya waktu senam, tapi juga di mana pun.