Kalau perkembangan itu terus memburuk dan fasilitas di rumah sakit tidak cukup maka dokter harus membuat prioritas.
Kenyataannya, tulis surat itu, ada pasien yang sudah sangat gawat. Sudah sangat kecil kemungkinan untuk sembuh. Pun seandainya terus dirawat di ICU. Dan sudah diberi ventilator.
Maksudnya: pasien seperti itu harus direlakan untuk mati. ICU bisa untuk pasien lain yang lebih memiliki harapan hidup. Demikian juga ventilator. Bisa dicabut dari pasien gawat. Untuk dipasang di pasien baru.
Dalam kondisi yang gawat nanti akan ada evaluasi. Akan ada batas waktu penggunaan ICU. Kalau sudah melewati batas waktu itu dan si pasien belum menunjukkan kemajuan maka tidak ada artinya lagi terus dipertahankan. Diteruskan pun tidak memberi harapan. ICU diperlukan untuk pasien lain.
Keputusan itu, kata surat tersebut, didasarkan kondisi saat itu. Tidak ada hubungannya dengan ras, gender, agama, asuransi atau pun status keimigrasian.
Heboh.
Keputusan untuk mati ternyata tidak lagi di tangan Tuhan. Etika dokter pun dipersoalkan.
Perusahaan rumah sakit itu langsung jadi sorotan. Ada yang marah. Ada juga yang memahami.
“Pada dasarnya semua rumah sakit punya pikiran seperti itu,” kilah manajemen perusahaan itu kepada media di Amerika.
Di Michigan –apalagi di New York– suara sirine ambulan seperti tidak henti-hentinya. Dokter, perawat, rumah sakit berada dalam tekanan besar.
Kabar baiknya: pesawat pertama yang membawa 80 ton bantuan alat kesehatan dari Tiongkok mendarat di New York kemarin sore.
Isinya: 130.000 marker N95, 1,8 juta masker, 10 juta sarung tangan, dan alat kesehatan lainnya.
Pesawat berikutnya akan terus datang dari Shanghai.
Lho.
Ponirin masih bakar tikar
Tangerang sudah panen ikan
Kemarin masih bertengkar
Sekarang sudah baikan.