Oleh : Asep Gunawan
(Pegiat Literasi Falsafi, Ketua Komisi Diklat MUI Kabupaten Purwakarta,
Dewan Fakar ICMI Orda Purwakarta)
Pasca wabah virus korona menjadi pandemi, tatanan dunia hari ini diselimuti “ketidakpastian”. Dampaknya tidak hanya melumpuhkan tatanan kehidupan sosial dan ekonomi, melainkan juga sendi kehidupan lainnya. Salah satu yang terdampak sangat kuat adalah tatanan kehidupan beragama.
Dalam kehidupan umat Islam, diskursusnya berhembus sangat kencang. Bukan hanya terfokus pada persoalan fikih ibadah yang sifatnya “mahdhah”, tetapi sampai pada wacana yang paling fundamental dalam keagamaan Islam, yakni persoalan aqidah.
Terbitnya kebijakan social-distancing dari pemerintah dan lalu ditindaklanjuti dengan fatwa fikih serta imbauan dari Majelis Ulama Indoensia (MUI) serta ormas Islam lainnya, memposisikan praktik ibadah “mahdhah” yang tertradisi dilakukan di mesjid dalam “ketidakpastian”, yang berujung pada kebingungan sebagian besar umat Islam.
Bukan saja shalat Jum’at dan pengajian yang melibatkan banyak orang, melaksanakan shalat berjamaah fardhu di mesjid juga harus diiringi dengan ragam peringatan. Jika dalam waktu dekat wabah virus korona ini kurvanya tidak menurun, imbas yang lebih kompleks akan segera muncul, karena kurang dari sebulan ibadah puasa Ramadhan dan Hari Iedul Fitri 1442 Hijriyah akan segera datang.
Logika Fikih
Bersama aqidah dan akhlaq, fikih merupakan elemen yang paling mendasar dalam konsepsi ajaran Islam. Jika Islam itu diibaratkan seperti sebuah pohon, maka aqidah itu adalah akarnya, fikih itu adalah batang, cabang, ranting dan daunnya, sementara akhlaq adalah buahnya. Ketiga elemen itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya saling mengikat dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Ketika ketiga elemen itu berjalan sesuai dengan alurnya, maka terciptalah sebuah praktek keberislaman paripurna (kaffah).
Namun dalam praktiknya, konsepsi fikih itu berbeda dengan konsepsi aqidah ataupun akhlaq. Jika aqidah bersifat saklek (tidak dapat berubah), maka fikih dapat berubah mengikuti kondisi tempat dan masa. Kaidah utamanya “al-hukmu yadurru ma’a illatihi bi al-taghoyyuri al-makaan wa al-zamaan”, bahwa hukum fikih itu berputar beserta intisari hukumnya mengikuti perubahan tempat dan masanya. Karena sipatnya yang dapat berubah, maka kesimpulan hukum fikih seringkali memunculkan fatwa hukum yang berbeda-beda (ikhtilaf). Di Indonesia tradisi fikih mengikuti fatwa hukum madzhab yang empat, yakni madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi.