Airgency juga dilengkapi dengan sistem sensor tekanan untuk mengetahui tekanan yang masuk ke paru-paru manusia dan ada fitur deteksi pernapasan. Terdapat dua pilihan mode pada Airgency yaitu mode normal by default yang artinya Airgency akan memiliki cara kerja seperti automatic resusitator dan Assisted Breathing Mode untuk membantu pasien yang mengalami kesulitan bernapas dengan adanya pengaturan penggunaan saat pasien ingin bernapas dengan bantuan Airgency.
Tim dosen lainnya, Christian Reyner menambahkan, proses perancangan desain Airgency dilakukan dalam kurun waktu 1-2 minggu sampai pada tahap pembuatan purwarupa dengan melakukan iterasi sebanyak 10 – 20 kali hingga didapatkan purwarupa Airgency yang paling tepat.
Selama perancangan desain alat, tim dosen ITB juga melakukan koordinasi dengan tim dari RSHS. Purwarupa dari Airgency kemudian akan diuji coba dibantu oleh LPIK. Saat ini, purwarupa Airgency dalam tahap sertifikasi oleh BFPK (Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan) Kemenkes RI, tim dokter Universitas Padjadjaran, dan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung selama 1-2 minggu.
“Setelah lolos sertifikasi, selanjutnya akan dilakukan produksi sebanyak 10 – 20 Airgency yang siap digunakan. Untuk pembuatan Airgency dengan skala cukup kecil akan dibutuhkan satu minggu,” ujarnya.
Rencana ke depan Airgency setelah lolos uji sertifikasi, Airgency akan diuji klinis di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung kemudian Airgency akan mulai diproduksi untuk digunakan di rumah sakit di Bandung dan sekitarnya. Tidak menutup kemungkinan pula Airgency akan diproduksi ke daerah yang mengalami kekurangan alat medis dalam penanganan kasus Covid-19.(fin/ysp)