Oleh karena itu, aktifitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktek pungutan bunga, karena dilarang hukum syara dan memberatkan pihak yang menggadaikan, sebab selain harus mengembalikan utangnya, penggadai juga masih berkewajiban membayar bunganya. Di Indonesia segala sesuatu yang bersifat syariah belumlah 100% murni syariah. Syariah di Indonesia masih menggantung, jadi bisa diibaratkan masih menggunakan sistem konvensional, walau jumlah atau keterlibatan sistem ini sangat sedikit. Namun, biarpun sedikit yang mananya riba tetap haram. Dalam pegadaian, sebaiknya kita menghindari yang namanya riba dengan menggunakan nama pegadaian syariah.
Dalam Islam syarat menggadaikan suatu barang haruslah ada yang namanya ijab dan qobul. Harta yang digadaikan yakni benda yang sah dijual. Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadaian, itu harus Aqil baliqh. Tidak boleh merugikan orang yang menerima gadai. Kemudian harta benda yang digadaikan tidak terlepas dari gadaian sebelum utang terbayar seluruhnya, dan harta benda yang digadaikan boleh dijual untuk pembayaran utang. Jika utang itu tidak terbayar pada waktu yang telah ditentukan, hasil dari penjualan barang yang digadaikan tadi, selebihnya dari jumlah utang harus dikembalikan kepada pemilik barang tersebut. Jadi sekali lagi Islam membolehkan gadai tapi dengan ketentuan dan syarat yang telah ditentukan syara.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari Aisyah RA, ia berkata : ” Nabi SAW. pernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tidak tunai (utang) lalu beliau memberikan gadaian berupa baju besi “. (HR. Bukhori dan Muslim). Wallahu’alam bisowab. (*)