Layaknya efek domino, para FTF yang telah bergabung dengan ISIS menjadi konflik sosial bagi negara asalnya. Jika dilihat dari kacamata hukum, para FTF secara otomatis telah kehilangan kewarganegaraannya. Sebagaimana tertuang dalam huru e dan f Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2006.
Lebih dari 600 orang FTF yang berasal dari berbagai kalangan juga menjadi masalah sosial serta berdampak terhadap situasi politik dalam negeri Indonesia, terutama sejak meningkatnya krisis politik identitas pasca Pilpres 2019. Walupun akhirnya Presiden Joko Widodo tidak menyetujui rencana pemulangan keenam ratus FTF asal Indonesia, isu tersebut terlanjur dimanfaatkan sebagai agenda politik bagi sebagian pihak. Khususnya untuk mendeskreditkan pemerintah.
Pada tingkatan masyarakat akar rumput, melemahnya ISIS sedikit banyak telah berpengaruh terhadap menurunnya semangat bagi para penganut paham radikal. Namun demikian, hal tersebut tidak serta merta meruntuhkan paham radikalisme maupun tindakan-tindakan terorisme bagi para jihadis militan. Jaringan terorisme beserta sel-sel tidurnya tidak lagi melakukan aksi propaganda secara terbuka. Mereka mulai menerapkan strategi aksi-aksi yang dilakukan secara perseorangan atau dikenal dengan istilah lone wolf.
Dalam catatan Kapolri yang disampaikan pada saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI pada Desember 2019, terdapat 8 aksi terorisme dengan jumlah terduga teroris yang berhasil ditangkap mencapai 275 orang. Aksi penusukan Menko Polhukam Wiranto pada 10 Oktober 2019 maupun peledakan di lingkungan Polrestabes Medan merupakan 2 kasus aksi terorisme paling menonjol selama 2019. Jumlah tersebut dinilai relatif menurun dibanding tahun 2018 dengan terduga teroris yang berhasil ditangkap mencapai 396 orang.
Kondisi ini semestinya dapat dimanfaatkan pemerintah untuk terus menekan aksi-aksi terorisme maupun aktivitas radikalisme. Namun demikian, hal tersebut tidak akan mencapai hasil maksimal jika tidak ada sinergitas antar instansi pemerintah, terutama para penegak hukum. Bagaimanapun, pemberantasan terorisme dan radikalisme tidak akan berjalan optimal jika hanya berorientasi pada tindakan represif. Diperlukan upaya preventif untuk mencegah aksi terorisme.
Dalam hal ini, aktivitas dan operasi intelijen yang baik dapat mencegah sebelum terjadinya tindakan terorisme. Hal tersebut dinilai lebih optimal dalam meminimalisir aksi-aksi terorisme. Badan Intelijen Negara (BIN), sebagaimana disebutkan dalam Prepres No. 67 Tahun 2013 Tentang Koordinasi Intelijen Negara merupakan koordinator dari unsur-unsur intelijen yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, merupakan garda terdepan yang memiliki fungsi untuk pencegahan dan deteksi dini terhadap seluruh ancaman yang mungkin hadir di Indonesia, termasuk aksi terorisme.