Ups… Tidak.
”Saya sangat loyal kepada pemerintah. Termasuk tentu ke Menteri Keuangan,” ujarnya selepas pelantikannya sebagai anggota DPR dulu. Itu karena Golkar adalah bagian dari pemerintah.
”Bahkan saya juga menyatakan sebagai orang yang sangat beruntung. Saya bisa bekerja sama dengan menteri keuangan terbaik dunia. Berarti kami ini ikut jadi yang terbaik di dunia,” katanya.
Tapi keloyalan utamanya, tentu, tetap pada idenya sendiri: cetak uang. Sebagai satu-satunya sumber dana besar. Untuk membangun kembali ekonomi. Yang dihancurkan oleh Covid-19 –yang sebenarnya memang sudah goyah sejak sebelumnya.
Misbakhun menggambarkan dengan jelas di mana letak kegoyahan itu. Termasuk terjadinya defisit di empat sektor utama sekaligus.
Misbakhun sudah pada puncak pemikirannya: cetak uang sebagai sapu jagatnya. Ia mengaku sudah mendalami pilihan-pilihan lain. Semuanya jelek dan lebih jelek. ”Saya tahu cetak uang itu tidak bagus. Tapi pilihan lain lebih jelek lagi,” katanya.
Misalnya soal inflasi itu. Ia tahu persis cetak uang itu akan mengakibatkan inflasi. ”Tapi janganlah menjadikan akibat buruk cetak uang di tahun 1956 sebagai argumentasi,” katanya. ”Apalagi menyebut-nyebut pula Zimbabwe,” tambahnya.
Menurut Misbakhun skala ekonomi kita saat ini sudah tidak bisa disamakan dengan tahun 1956. Apalagi dengan Zimbabwe.
”Memang akan terjadi inflasi,” katanya. ”Tapi kalau kenaikan inflasinya bisa dihitung mitigasinya bisa disiapkan,” katanya.
”Negeri ini tidak boleh hancur,” ujar Misbakhun.
Tidak mungkinkah dicarikan jalan kompromi? Agar Presiden tidak hanya harus memilih dua pilihan itu?
”Kompromi itu tidak mungkin. Hanya akan menghasilkan kebijakan setengah-setengah,” kata Misbakhun. ”Persoalan sekarang ini terlalu berat untuk diselesaikan dengan setengah-setengah,” tambahnya.
Misbakhun memang militan. Berani keluar sebagai pejabat Kantor Pajak adalah contohnya. Berjuang mengungkap kasus Bank Century adalah contoh yang lain.
Ia anak orang miskin. Dari desa. Kuliah di STAN pun karena beasiswa. Cari yang gratis. Ia sebenarnya diterima di universitas terbaik negeri ini. ”Tapi orang tua saya tidak mungkin mampu membiayai,” ujarnya.
Sang ayah kini sudah meninggal dunia. Tapi ibunya masih sehat. Tetap tinggal di desa di pelosok Pasuruan. Di Desa Manik Rejo, Kecamatan Rejoso.