Oleh: Dahlan Iskan
Trump ternyata masih sibuk sendiri. Ia belum bisa diganggu untuk mikir perang lawan Tiongkok. Presiden Amerika itu lagi perang sendiri: melawan Twitter.
Jumat kemarin Presiden Donald Trump mulai menembakkan pena-nya. Ia tandatangani dekrit presiden: agar UU 230 tahun 1996 direvisi. Kalau perlu dicabut.
Sasarannya: Twitter –sebagai perusahaan. Juga Facebook dan YouTube. Terutama Twitter.
Dengan dekrit itu, platform seperti Twitter bisa diperkarakan. Kalau terbukti bersalah bisa dipenjara. Atau diminta ganti rugi.
Trump memang lagi sewot pada Twitter. Ia menilai Twitter menyensor postingannya.
Minggu ini saja dua kali.
Yang kali pertama postingan tentang pemungutan suara. Di negara bagian California. Yang dilakukan secara online –akibat Covid-19.
Trump –lewat postingan Twitter-nya– menilai pemungutan suara dengan cara itu penuh kecurangan.
Twitter sebenarnya tidak memblokade postingan Presiden Trump itu. Follower Trump –yang 80 juta orang — tetap bisa membacanya. Tapi ”redaksi” Twitter memberi catatan: perlu dicek, apakah faktanya begitu.
Unggahan kedua: soal kerusuhan di Minneapolis. Trump mengunggah Twitter yang dianggap mengagungkan kekerasan. Begini bunyi twitternya: ”Begitu penjarahan dimulai penembakan juga dimulai”.
Bunyi Twitter presiden seperti itu dianggap justru membakar kerusuhan.
Follower Trump tetap bisa membaca postingan itu secara lengkap. Tapi ”redaksi” Twitter memberi catatan bahwa bunyi postingan seperti itu melanggar kebijakan isi Twitter. Yakni mengagungkan kekerasan tadi.
Di Kota Minneapolis –kota terbesar di negara bagian Minnesota– memang terjadi kerusuhan tiga hari. Dimulai Rabu lalu. Gegaranya: orang kulit hitam tewas setelah lehernya ditindih dengkul polisi kulit putih di tahanan.
Ciri-ciri orang itu, George Floyd, dinilai sama dengan yang diceritakan oleh pemilik toko ke nomor pengaduan 911. Kata pemilik toko: baru saja ada orang kulit hitam membayar dengan uang palsu.
Tindakan polisi kulit putih itu dikecam habis –termasuk oleh para pimpinan polisi di semua negara bagian. ”Tidak ada pelajaran seperti itu di pendidikan polisi,” kata mereka.
Orang itu tidak bersenjata. Sudah berhasil ditelikung pula. Pun sudah ditengkurapkan di tanah. Kok masih ditindih lehernya dengan dengkul. Padahal, orang itu sudah berteriak-teriak minta tolong –karena sulit bernafas.