New Normal dan Sebuah Peradaban Baru

0 Komentar

Oleh: Ulfa Della Nova Tilova
Mahasiswa Fakultas Geografi UMS

Merebaknya Covid-19 hingga saat ini tentunya mampu membawa dampak yang beraneka ragam bagi setiap individu manusia. Kita perlu mengakui bahwa kegilaan, rasa takut, cemas, merupakan hal yang valid dan juga dibenarkan, dimana reaksi-reaksi tersebut beralasan. Kita berduka karena kita kehilangan sesuatu yang familiar untuk kita. Kita perlu menyadari bahwa yang sebelumnya kita anggap adalah hal maupun kegiatan yang NORMAL merupakan suatu hal yang membawa kita ke titik atau ke krisis ini.
Pernah seseorang sahabat berkata kepada saya bahwa kita berada di titik ini merupakan akumulasi dari percapaian perbuatan yang kita lakukan dalam masa lalu, biasanya paling mudah refleksinya selama 5 tahun. Begitupula apa yang terjadi saat ini merupakan apa yang telah di lakukan dalam masa lalu. Kita perlu menyadari bahwa kegilaan ini ada historisnya dan kita juga harus memahami bahwa untuk merubah ke masa depan yang lebih baik kita tidak dapat sekadar kembali ke cara hidup yang sama. ‘New Normal yang kita tuju bukan hanya sekadar pakai masker, jaga jarak, maupun cuci tangan. Tapi New Normal kita tuju adalah sebuah peradaban baru’.
Seperti yang telah diungkapkan oleh seorang aktivis sekaligus penulis kulit hitam dari US, Sonya Renee Taylor bahwa “We will not go back to normal. Normal never was. Our pre-corona existence was not normal other than we normalized greed, inequity, exhaustion, depletion, extraction, disconnection, confusion, rage, hoarding, hate, and lack. We should not long to return, my friends. We are being given the opportunity to stich a new garment.
One that fits all of humanity and Nature”. Ungkapan tersebut bermaksud bahwa masa sebelum corona tidak pernah normal, yang ada hanyalah kerakusan, ketimpangan, kelelahan, ekstraksi tidak henti yang dinormalisasikan. New Normal dapat membawa kita menjadi lebih baik jika tahu bagaimana cara mengatasinya dengan benar dan bijaksana.
Merebaknya virus corona seharusnya membuat kita semakin tersadar dan dapat menjadikannya sebagai refleksi bahwa kita telah berlaku tidak baik terhadap alam, mengeksploitasi alam secara berlebihan, berkontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim dengan cara energi fosil dieksploitasi secara serakah, kendaraan bermotor mengeluarkan emisi yang yang menyebabkan krisis iklim, konversi lahan tiada henti, penemuan plastik yang merugikan bagi alam, pertanian monokultur dengan menyebabkan beban lingkungan yang diakibatkan sangat berat dan menghabisi keanekaragaman hayati, dan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan keserakahan manusia.

0 Komentar