”Biaya tes juga menjadi turun drastis. Bisa turun 70 persen,” ujar Dokter Andani.
Di lab Fakultas Kedokteran Universitas Andalas itu bekerja 55 orang. Kebanyakan mahasiswa kedokteran tahap akhir di sana.
Peningkatan kapasitas tes itu tidak memerlukan tambahan peralatan apa pun. Semuanya sama. Hanya metodenya saja yang berbeda.
Berarti lab yang lain bisa meniru?
”Bisa sekali,” tegasnya dokter Andani.
”Boleh?”
”Boleh sekali. Ini kan untuk kepentingan nasional,” jawabnya.
Untuk bisa mengerjakan itu, katanya, yang diperlukan hanya militansi dan jiwa mengabdi. Dua-duanya memang ada di dokter Andani. Ia adalah aktivis mahasiswa. Ketika sudah jadi dokter ia tetap aktivis. Sikap militan adalah jiwa seorang aktivis.
Ia juga pengabdi. Pasien yang datang ke tempat prakteknya boleh tidak membayar. Karena itu praktek dokternya ramai sekali. Sampai larut malam.
Ia juga menolak diberi penghargaan sebagai dosen teladan. Ia merasa belum banyak yang ia perbuat.
Tapi dengan penemuannya ini rasanya ia sangat layak untuk mendapat penghargaan. Soal ia tidak mau menerima biarlah itu menjadi sikap mulianya.
Dokter Andani kini juga sudah menyelesaikan karya tulisnya. Terkait dengan terobosan yang ia temukan itu. Dalam bahasa Inggris. Sudah siap dikirim ke jurnal internasional.
Jadi apakah permintaan ketua Gugus Tugas Nasional tadi bisa dipenuhi?
”Kami siap membantu daerah lain. Silakan kirim sampel ke Padang,” katanya.
Berapa lama tes itu memberikan hasil?
”Paling lama 24 jam,” katanya.
Silakanlah.
Saya agak telat menulis ini. Padahal Dokter Andani sudah memberi tahu saya setelah lebaran lalu.
Maka sayalah yang salah kalau sampai ada kepala daerah yang marah-marah –plus nangis-nangis– karena rebutan mobil tes.