Oleh: Dahlan Iskan
Jalan-jalan sudah penuh-padat. New normal sudah normal –dengan atau tanpa new. Jumlah penderita baru Covid-19 naik. Sudah dua hari terakhir di atas 1.000 orang/hari. Lebih tinggi dari yang lalu-lalu.
Gawat?
Rasanya tidak. Rumah-rumah sakit di Surabaya memang penuh. Pun keluhan seliweran di medsos. Tapi itu karena RS Universitas Airlangga lagi ada masalah. Lagi tidak menerima pasien Covid-19. Sejak ada dokter dan perawatnya yang terjangkit virus pandemi itu.
Sepanjang penderita baru tidak mencapai 1.500/hari tidak cukup alasan untuk menyatakan gawat. Tingkatnya di sekitar memprihatinkan. Dan harus waspada. Jangan-jangan angka itu akan tercapai.
Apalagi angka total Indonesia sudah melewati 40.000. Kemarin. Sudah di ranking 30 dunia.
Yang menggembirakan adalah justru di kampung-kampung. Dengan ”Gerakan Kampung Tangguh” itu. Yang diinisiasi polisi itu. Yang membuat Pak RT dan Pak Lurah menjadi lebih berperan.
Yang kurang menggembirakan adalah: peranan teknologi. Yang tidak terasa ada revolusinya. Kemajuan penggunaan teknologi informasi seperti siput.
Orang seperti saya tidak tahu siapa komandan di bidang pemanfaatan teknologi informasi itu. Menristek? Menkominfo? Atau karep-karepmu –terserah saja?
Saya mungkin salah. Mungkin karena kurang kepo. Adakah pembaca yang tahu: teknologi apa yang akhirnya dipakai secara luas?
Ciptaan Ghozi?
Apps Ghozi itu baru dipakai di satu provinsi: Bangka Belitung. Padahal ini sudah bulan Juni –pertengahan.
Mungkin ada yang tidak suka dengan temuan itu. Saya pun bisa memaklumi. Manusiawi. Itulah kenyataan dunia. Tapi adakah pesaing yang lebih baik dari Ghozi? Tentu, mestinya ada. Kalau ada mengapa yang lebih baik itu tidak segera diluaskan pemakaiannya?
Sayang kalau bencana begini besar tidak melahirkan terobosan besar.
Demikian juga soal peningkatan kapasitas tes. Yang sudah ditemukan oleh seorang Dokter Andani di Padang (Baca DI’s Way:Nangis Tes). Mengapa begitu lambat menjadi gerakan nasional? Apakah ada yang lebih baik? Kalau ada kenapa tidak segera dinasionalkan?