Tagihan Listrik di Era Pandemi, Minus Empati

0 Komentar

“Coba dihitung rata-rata tagihan sejak Februari-April. Logikanya adalah tagihan Mei tidak akan lebih tinggi dari April. Misalnya, tagihan Februari 1 juta, Maret 1,2 juta, April 1,5 juta. Maka bulan Mei adalah rata-rata Februari-April tidak akan lebih dari 1,5 juta. Ini yang terjadi tagihan Mei jauh di atas April,” papar Gde Siriana. (teropongsenayan.com 7/6/2020).
Sebelumnya memang PLN sendiri menyampaikan bahwa di masa PSBB, pihaknya tidak langsung memantau ke rumah-rumah, dengan alasan kesehatan. Sehingga tagihan dihitung berdasarkan rata-rata 3 bulan pemakaian. Artinya, tagihan bulan Mei adalah rata-rata dari penggunaan listrik 3 bulan sebelumnya, februari, maret dan april.
Kebijakan WFH (Work From Home) dan BDR (Belajar dari rumah) yang menyedot banyak listrik adalah kebijakan yang mensuport PSBB. Itu artinya, kebijakan WFH dan BDR bukan keinginan masyarakat, tapi kebijakan pemerintah. Maka wajar sebenarnya jika rakyat meminta keringanan tagihan listrik akibat pemakaian ekstra di era pandemi.
Selain itu, Gde pun menilai bahwa solusi PLN terhadap pembayaran tagihan yang dicicil pun patut dikoreksi. Sebabnya, pertama harus dikaji ulang perhitungan tersebut. Kedua, masyarakat tetap harus membayar tagihan ekstra tersebut. Di tengah kesulitan yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia. Seharusnya pemerintah membantu meringankan beban mereka.

Kebijakan Minus Empati Akibat Liberalisasi

Terlepas apakah pencatatan PLN yang harus dikoreksi ataupun karena meningkatnya aktivitas yang menggunakan listrik, namun faktanya rakyat kesulitan untuk membayar listrik. Seharusnya pemerintah mempunyai kebijakan yang meringankan beban mereka.
Sudahlah banyak pekerja yang dirumahkan bahkan di PHK, bantuan social banyak yang tak tepat sasaran, kini rakyat harus juga membayar tagihan listrik yang melangit. Kebijakan pemerintah seolah minus empati. Apa sebabnya?
Jika kita telaah lebih dalam, penyebab utamanya adalah Liberalisasi di semua sektor strategis termasuk listrik. Liberaisasi sektor listrik telah menjadikan PLN tak bisa berbuat banyak. Listrik telah menjadi komoditi yang mengiurkan.
Dibolehkannya swasta berpartisipasi dalam pemasokan listrik dalam negeri telah menjadikan tarif dasar listrik terus naik. Karena begitulah para pengusaha, motifnya adalah profit bukan social.

0 Komentar