Oleh: Lukman Enha*
TANPA banyak drama. Tanpa banyak konferensi pers. Ternyata sudah didoser. Sudah diratakan. Alat berat menderu, dikawal tentara. Jalan-jalan alternatif di Subang akan membentang. Tidak lama lagi, mungkin tahun 2022 sudah diaspal.
Pertama, jalur lingkar di Jalancagak sepanjang 2 kilometer sudah hampir jadi. Tinggal pengerasan lalu diaspal. Kedua, jalur alternatif Cikuda-Sarangpanjang juga sudah terlihat membentang. Menembus tebing Jimat Siliwangi. Lebarnya 20 meter, membentang lebih dari 31 Km.
Warga sudah antusias menanti jalan alternatif itu. Berharap bisa menumbuhkan perekonomian. Bukan tidak mungkin jadi jalur favorit untuk para traveller. Melintas perbukitan, cocok untuk berswafoto.
Apa tidak kepikiran oleh para bupati sebelumnya? Pasti kepikiran. Tapi..
Baca Juga:Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Subang Gelar Event Secara OnlinePengusaha Wedding Organizer Kembali Sumringah, Empat Bulan Tidak Ada Order, Kini Mulai Berangsur Normal
Jalur lingkar cagak akan jadi solusi kemacetan di pertigaan tugu nanas tiap lebaran dan setiap akhir pekan. Sedangkan jalur alternatif Cikuda-Serangpanjang bisa untuk “membuang” kendaraan agar tidak semua masuk ke kota.
“Kendaraan dari exit tol Kalijati yang mau langsung ke selatan bisa menembus jalur alternatif langsung ke Serangpanjang dan dilanjutkan ke Ciater. Kalau jalur lingkar Cagak ya..tahun depan beres,” begitu kata Bupati Ruhimat.
Jalur alternatif Cikuda-Serangpanjang itu mengingatkan saya pada momen Idul Adha tahun 2007 atau 2008 silam. Saya lupa. Waktu itu saya bertitel Presiden BEM Universitas Subang. Melaksanakan Qurban di pelosok daerah terpencil. Bekerjasama dengan lembaga sosial ternama.
Ditetapkanlah daerahnya di Banggalamulya. Pedalaman Kalijati. Dengan seragam biru menggunakan motor, pengurus BEM menembus jalanan berbatu. Itu menjadi program “Menteri Agama” BEM. Tentu tanpa Patwal. Sambil membawa satu ekor domba.
Sampai pada titik di mana motor sudah tidak bisa lagi lewat. Kita harus melewati sungai tanpa jembatan. Maka domba pun harus digendong. Tujuannya menembus pemukiman paling pelosok. Melintasi jalan setapak. Menuntun domba pula.
Saat tiba kami disambut senyum warga. Ada beberapa rumah saja yang berdiri di sana. Dengan penuh gembira dan khidmat berkurban bersama warga. Itu jadi momen Qurban paling bahagia dalam hidup saya. Tapi sekaligus miris dengan kondisi seperti itu. Yang tidak keurus bukan di pegunungan saja, ternyata di daerah datar seperti Banggala juga masih terisolir.