Tapi di sistem hukum Indonesia hal seperti Huawei tidak mungkin bisa dilakukan. UU Perseroan Terbatas menegaskan: keputusan tertinggi ada di RUPS. Kalau tidak ketemu jalan musyawarah harus diadakan pemungutan suara: 1 saham, 1 suara.
Pasti yang hanya memegang saham 2 persen tergilas oleh yang mayoritas. Jangankan 2 persen. Yang 10 persen pun terlindas begitu saja. Pun yang sampai 40 persen. Tidak akan berkutik.
Begitulah hukum yang berlaku di perusahaan.
Adakah jalan keluar seperti yang saya inginkan?
Sepanjang lockdown tiga bulan terakhir saya terus mencari jalan keluar itu: bagaimana saya bisa seperti Ren Zhengfei.
Saya sudah mencoba berbagai simulasi. Belum juga ketemu. Tapi di dunia ini tidak ada yang tidak bisa. Akhirnya jalan itu saya temukan.
Cara itulah yang akan saya uraian di edisi pertama Harian DI’s Way nanti.
Yang penting bisakah tanggal 4 Juli nanti Harian DI’s Way benar-benar terbit. Sampai dua hari lalu kertas belum ada. Mesin belum ada. Wartawan belum punya.
Semua harus tersedia dalam lima hari ini.
Saya pernah mengalami nasib jelek: saat membuat koran di Manado. Spanduk sudah lama terpasang: akan terbit tanggal sekian.
Malam menjelang tanggal itu semua komputer macet. Tidak ada yang bisa mengatasi.
Lemes.
Padahal saya sudah dua harmal tidak tidur. Kencing ditahan. Makan asal ketelan. Untung umur saya saat itu masih memungkinkan: 36 tahun.
Akhirnya, koran tidak bisa terbit. Menunggu juru selamat dari perusahaan komputer yang harus didatangkan dari Surabaya.
Padahal tanggal terbit itu sudah dipilih yang terbaik. Gagal juga. Bahkan koran itu akhirnya mati. Saya harus bikin koran baru lagi di Manado. Sampai menjadi besar sekali. Sampai sekarang –meski bukan milik saya lagi.
Akankah gagal terbit itu terulang di Harian DI’s Way? Di umur saya yang hampir 70 tahun?
Rasanya yang sekarang ini lebih menegangkan. Apalagi janji terbit tanggal 4 itu bukan angka yang baik –bagi yang mempercayainya.
Tapi menurut hitungan saya tanggal 4 itu tidak masalah karena bulannya 7 dan tahunnya juga 4 (2020).