By Kanti Rahmillah, M.Si
(Pemerhati Permasalahan Anak dan Keluarga)
Untuk mengantisipasi terjadinya “Baby Boom” di era pandemi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah melakukan pelayanan KB serentak di seluruh Indonesia. Melalui momentum peringatan Harganas (Hari Keluarga Nasional) ke27 ini, BKKBN telah sukses meraih Rekor Muri (Rekor Musium Indonesia) atas keberhasilannya melakukan pelayanan sejuta lebih akseptor KB di seluruh Indonesia dalam satu hari.
Hasil capaian quick count diumumkan dalam siaran langsung peringatan Hari Keluarga Nasional ke-27 Bangga Indonesia di Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada Senin malam (29/06). Hingga pukul 22.00 WIB, angka yang diperoleh Pelayanan KB Serentak Sejuta Akseptor adalah sebesar 1.355.294. Quick count akan terus berlanjut sampai 30 Juni 2020 hingga seluruh data akseptor yang terlayani masuk ke server data BKKBN. (cnn.com 2/07/2020)
Jabar adalah provonsi terbanyak dalam pelayanan program tersebut. Total akseptor KB yang dilayani mencapai 466.304 dan angka tersebut masih terus bertambah mengingat data dari daerah belum masuk semua. Misal saja kabupaten Purwakarta yang mendapatkan target sebanyak 8.664 akseptor dari BKKBN Jabar, realisasinya jauh diatas target yaitu 12.892 akseptor KB yang telah dilayani. (Republika.co.id 2/07/2020)
Gerakan Sejuta Akseptor telah sukses diselenggarakan di tengah pandemi. Namun, mampukah gerakan tersebut menyentuh esensi dari problematika? Benarkah sejuta akseptor akan mampu mendorong ketahanan keluarga hingga menghasilkan SDM yang mampu memajukan bangsa?
Pembagian Akseptor Tak Sentuh Akar Problema
Jika kita menelaah kembali tema Harganas tahun ini yaitu “Melalui Keluarga kita wujudkan Sumber Daya Manusia unggul menuju Indonesia maju”. Maka ketika ingin menjadikan keluarga sebagai institusi pencetak manusia unggul, yang pertama harus dibenahi adalah keluarganya. Setelah tercipta keluarga yang harmonis, barulah dari sana akan terlahir generasi unggul yang akan melanjutkan kepemimpinan.
Namun sungguh sayang, perceraian kian hari semakin tinggi angkanya. Sedangkan keretakan keluarga menurut departemen agama, faktor tertingginya adalah permasalahan ekonomi. Artinya, cek cok yang terjadi antara suami dan istri didominasi oleh persoalan ekonomi.
Sedangkan ekonomi keluarga erat kaitannya dengan ekonomi bangsa. Tingginya pengangguran yang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan telah menjadi problem besar mayoritas keluarga Indonesia.