Oleh: Dahlan Iskan
Hari ketiga di Surabaya dokter Andani Eka Putra mengajak saya makan di restoran Padang. Rupanya ia sudah bosan dengan makanan hotel.
”Orang Padang ini susah. Tidak bisa pisah dengan masakan Padang,” katanya.
Saya pun ingat. Istri saya, tadi pagi, masak mirip masakan Padang. Mirip rendang. Bukan daging biasa, tapi bagian dalam pipi sapi.
Dokter Andani pun masuk mobil saya. Bersama Alghozi Ramadhan, si Melinial Nakal. Saya yang mengemudikan mobil. Mereka tidak tahu akan dibawa ke restoran mana.
Keduanya memang lagi di Surabaya. Mereka diajak Letjen Doni Monardo ke Surabaya. Ketua BNPB itu memang prihatin akan keadaan Surabaya. Yang lagi dinyatakan sebagai daerah merah-hitam.
Hari kedua, mestinya dr Andani ikut Letjen Doni ke Makassar. Tugasnya sudah selesai –mesti tidak tuntas. Andani sudah bertemu Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Memang ia juga ingin bertemu wali kota Surabaya. Tapi ia sudah sempat ”tidak ada harapan” untuk bisa bertemu Tri Rismaharini hari itu.
Malam itu di kantor Harian DI’s Way, Dokter Andani sudah pamit saya. Ia akan ikut ke Makassar keesokan harinya.
Tapi di halaman ia dicegat Wakil Ketua DPRD Surabaya, Reni Astuti. Yang dari PKS itu. Dia lagi berusaha mencari hubungan dengan sang wali kota.
Dokter Andani tidak jadi ke Makassar. Siapa tahu masih bisa bertemu wali kota.
Harapan sering seperti doa. ”Besok jam 7 pagi saya diterima Bu Risma”, tulis Andani di WA-nya.
”Semoga berkah,” balas saya.
Dokter Andani harus tambah dua malam di Surabaya.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Amitohu. Rahayu.
Begitu selesai pertemuan dengan Bu Risma itulah ia merasa lapar. Langsung minta masakan Padang tadi.
Dokter Andani lega sekali. Ia memberi pujian yang tinggi pada Bu Risma. ”Beliau langsung setuju dan langsung action,” ujar Andani.
Langsung action-nya itu yang membedakan Bu Risma dengan banyak lainnya.
Pertemuan itu berlangsung di rumah dinas wali kota. Sampai lama sekali. Lebih dari dua jam. Bahkan, setelah pertemuan, Dokter Andani langsung diajak ke satu lokasi, agak di pinggir kota.