Oleh: Agustina Suhardi
(Pemerhati Masalah Sosial)
Puluhan nelayan yang tergabung dalam Paguyuban Nelayan Patimban (Subang) melakukan unjuk rasa pada hari Kamis, 16 Juli 2020. Mereka menuntut janji pemerintah berkaitan dengan kompensasi nelayan yang terdampak oleh pembangunan Pelabuhan Patimban.
Para nelayan merasa kesulitan melaut dan mencari ikan di sekitar bibir pantai akibat pembangunan pelabuhan internasional tersebut. Di samping itu, mereka menuntut transparansi dalam pengelolaan dan penyaluran dana CSR dari perusahaan yang berwenang (http://mediatani.co/nelayan-berunjuk-rasa-tuntut-kompensasi-dampak-pembangunan-pelabuhan-patimban/).
Di sisi lain, sebagai jawaban dari tuntutan para nelayan, pemerintah pusat tengah melakukan pendataan kepada para nelayan untuk melakukan assessment (penilaian) dan menyiapkan 13 program mata pencarian sebagai konversi dari kesulitan nelayan akibat aktivitas pembangunan infrastruktur.
Program tersebut berupa paket-paket pelatihan yang direncanakan sebagai persiapan pekerjaan di Pelabuhan Patimban. Pelatihan yang ditawarkan diantaranya pelatihan forklift, pelatihan pengelasan, basic safety, kuliner enterpreneurship, urban farming, pengolahan produk olahan, budidaya lele, perakitan jaring rampus, food court, tenaga kerja bongkar muat, serta cleaning service (Detiknews, 16/07/20).
Ditambah lagi adanya bantuan Bioflok kepada 1000 pembudidaya air tawar dari pemerintah pusat (Pasundan Ekspres, 17/07/20). Untuk CSR sendiri bahwa pihak perusahaan kontraktor menyatakan telah menyalurkan bantuan untuk fasilitas-fasilitas umum, pembuatan seragam pembuatan tempat mencuci tangan, penyem protan disinfektan, perbaikan masjid/mushola serta membantu berbagai macam kegiatan di wilayah tersebut.
Ada kesedihan membaca berita tersebut. Nelayan tradisional merupakan salah satu kelompok profesi yang dianggap memiliki penghasilan yang minim. Kini, di negeri yang dijuluki sebagai negeri bahari, di salah satu bagian daerah Pantura, nasib nelayan tradisional yang puluhan tahun hidup dari anugrah laut sedang dipertaruhkan di tengah pembangunan infrastruktur yang begitu masif. Bisa jadi, di tahun-tahun ke depan, mereka akan berganti profesi sebagai pekerja di pelabuhan dengan posisi pekerjaan atau berwiraswasta dengan penghasilan tidak sebesar dengan pengelola pelabuhan Patimban.
Jadi, ada sebuah pertanyaan besar yang mesti dijawab. Siapa yang akan tetap diuntungkan dengan pembangunan infrastruktur, nelayan atau pengelola?
Indonesia bercita-cita menjadi poros maritim dunia melalui implementasi tol laut untuk melancarkan arus logistik.