Memaknai Sila Pertama
“KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Bagian Ketiga
Oleh: Kang Marbawi
Salah sejahtera untuk saudara sebangsa setanah air. Semoga bangsa yang kita cintai ini mampu menghadapi dan melewati persoalan-persoalan yang saat ini sedang dihadapi. Dan rakyatnya tetap mencintai dan berhati satu untuk Indonesia. Minggu lalu kita mendiskusikan arti Iman,Islam dan Ihsan. Serta beragama itu bertujuan untuk menyebarkan kedamaian dunia dan akhirat.
Kali ini kita akan mendiskusikan bagaimana kita menjalankan keberagamaan kita sebagai bukti dari keimanan kita. Beriman itu tidak hanya yakin akan nilai-nilai aqidah yang dianutnya akan membawa kepada kebahagiaann dan arah yang lebih baik dalam hidupnya. Beriman itu juga harus disertai dengan konsistensi kita untuk menerapkan dan menjalankan nilai-nilai dari ajaran agama kita. Nilai-nilai keimanan kita tersebut jelas harus sesuai dengan perilaku kesehatian kita.
Kesesuaian antara keyakinan atau keimanan itu harus keluar dari hati. Sebab beriman itu haruslah bersifat intersubyektif. Yaitu keimanan yang kita yakini itu harus mengakar pada konteks kehidupan keseharian kita. Dan tidak berhenti pada dogma atau doktrin yang kering dan dipaksakan. Sebagai contoh ada banyak hadits yang menunjukkan keimana kita harus berakar pada konteks keseharian kita. Dalam arti keimanan kita harus tergambar dalam laku kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh hadits terkait keimanan yang kontekstual adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu- menceritakan dari Nabi Muhammad tentang keimanan berkaitan dengan konteks sosial yang menyeluruh. Beliau bersabda, ”Man kāna yu`minu billāhi” (siapa yang beriman kepada Allah) Ini adalah kalimat syarat, jawabannya, “Fal yaqul khairan aw liyaṣmut” (hendaklah ia berkata yang baik atau diam). Maksud redaksi hadis ini adalah anjuran dan motivasi untuk berkata yang baik atau diam, seakan-akan beliau berkata: Jika engkau beriman kepada Allah dan hari Akhir maka katakanlah yang baik atau diam. “Fal yaqul khairan” (hendaklah ia berkata yang baik).
Seperti mengatakan ucapan yang pada dasarnya bukan termasuk kebaikan, namun dia mengucapkannya untuk membuat teman-teman duduknya bergembir, maka ini adalah suatu kebaikan karena dapat menimbulkan keramahan, menghilangkan ketegangan, dan tercapainya kasih sayang. ”aw liyaṣmut” yakni diam.