Memaknai Sila Pertama
“KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Keadilan & Kesaktian Pancasila
Bagian Ketujuh
Oleh: Kang Marbawi
Salam sejahtera, semoga saudara setanah air dalam kaadaan sehat, bahagia dan tentu tetap mencintai Indonesia. Mencintai warganya yang bersuku-suku, bahasa, agama, dan budayanya. Indonesia adalah tanah air kita yang harus kita jaga, kita rawat kita majukan, rakyatnya kita sejahterakan. Minggu lalu kita telah mendiskusikan bagaimana sila pertama menjadi landasan teologis dalam perilaku ekonomi. Dimana perilaku ekonomi harus memperhatikan kepentingan umat. Keuntungan ekonomi harusnya tidak hanya dirasakan oleh pelaku ekonomi ansich. Namun seharusnya keuntungan tersebut bisa juga dirasakan oleh orang-orang disekitar kita.
Namun demikian, fakta di lapangan, keadilan ekonomi masih jauh panggang dari pada api. Ini artinya, pengelolaan ekonomi masih menyisakan berbagai residu atau “buangan” dimana akses dan keuntungan ekonomi masih dirasakan oleh sebagian kalangan saja. Sementara masyarakat kebanyakan semakin sulit untuk mengembangkan kemampuan ekonominya.
Pemerintah memang membuat berbagai program ekonomi untuk rakyatnya. Faktanya tetap saja, pemilik modal lebih banyak mendapatkan akses ekonomi dan modal yang lebih terbuka. Sementara masyarakat “bawah” hanya bisa menikmati kemandirian ekonomi yang rentan. Yang dimaksud “kemandirian” ekonomi adalah segala usaha yang dilakukan oleh masyarakat yang tak tersentuh oleh modal perbankan. Sebut saja pedagang kaki lima, pedagang asongan, dan jenis usaha kecil lainnya yang dilakukan oleh masyarakat “bawah”. Apalagi dimasa sulit mendekati resesi ekonomi dampak dari Pandemi Covid-19. Kesenjangan sosial-ekonomi semakin lebar.
Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya memberikan landasan teologis bagi pengelolaan ekonomi. Dimana pengelolaan ekonomi harus mampu memberikan rasa keadilan -minimal dalam kesempatan mengakses permodalan, akses pengelolaan sumber daya alam yang dikelola untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi rakyat, bukan untuk kepentingan kongkalikong pemodal/pegusaha dengan penguasa.
Sepertinya halnya ketika pemilihan kepala daerah, suka atau tidak ada transaksi antara bakal calon dengan partai dan pengusaha sebagai pengusung dan pemodal. Hal mana akan berimbas kepada kompensasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam, kebijakan kegiatan ekonomi dan pembangunan pasca calon resmi menjadi penguasa.