Oleh: Ukhty Hamba Allah
Pekan terakhir ini Kita disuguhi oleh drama penguasa yang sangat memilukan. Palu sudah diketukkan untuk Omnibus Law walau wujudnya sampai hari ini masih simpangsiur. Versi mana yang hendak di suguhkan? Setebal 1035 lembar, 905, 812 atau masih ada susulan? bukankah sudah disahkan?. Tebar hoax tapi bentuk asli masih ghaib. Jangan salahkan jika suara-suara fals menyeruak membuat bau busuk ruang legislasi semakin menusuk hidung.
Apakah mereka sudah lupa bahwa mereka bisa duduk di kursi yang mulia itu karena suara rakyat? Mereka membungkuk minta dengan seribu janji manisnya. Apakah mereka lupa bahwa mobil, rumah dan berbagai fasilitas mewah lainnya adalah pemberian rakyat? atau mereka sudah merasa tidak cukup, sehingga harus melacurkan diri dan berselingkuh dengan pengusaha? Dan perselingkuhan mereka terbongkar dengan lahirnya Omnibus Law di malam hari.
Lahirnya Omnibus Law pun telah ditolak oleh hampir semua elemen masyarakat diberbagai daerah. Tidak Cuma buruh, ada pecinta lingkungan, kaum intelektual, msyarakat umum bahkan tokoh-tokoh agama. Omnibus Law berpotensi merampas hak rakyat atas tanah, lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam essensial, hak masyarakat adat, serta hak buruh dan pekerja. Terlebih karena dikhawatirkan ke depan akan memicu konflik horizontal dan vertikal yang luas.
Sampai tulisan ini diselesaikan, aksi penolakan masih berlangsung. Hanya saja nada-nada yang nyaring terdengar, Undang-undang ini akan tetap eksis. Karena memang dia sengaja dilahirkan untuk dipertahankan . Yang menentang dan berteriak lantang bersiap dengan berbagai tuduhan dan tindakan diluar nalar yang akan menyasarnya. Menyedihkan, rakyat harus berhadapan dengan wakil dan pemimpin yang telah dipilih oleh jarinya sendiri.
Sadarlah, wahai rakyat …
Telah nyata bahwa sesungguhnya mereka bukan lagi wakil rakyat, mereka adalah budak dari para kapitalis. Kebijakkan mereka tunduk pada syahwat para pemilik modal. Mereka hampir bisu dan tuli jika berkaitan dengan kepentingan rakyat akan tetapi nyaring dan gagah disaat bicara masa depan hidup para konglomerat. Demokrasi meniscayakan kekuasaan tunduk pada pemilik modal. Semboyan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ hanyalah mantra membius ditiup saat pemilu tiba tidak lebih.