Ketika satu simbol agama dominan diruang publik, maka ruang publik tersebut tidak akan kesetaraan, equal, damai dan aman. Sebab bisa jadi simbol dominan dari satu agama akan mengintimidasi warga negara lain yang juga memiliki hak yang sama di ruang publik. Dominasi simbol dari satu agama di ruang publik akan melahirkan anarkisme.
Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan ruang yang sama, kepada semua agama untuk tampil di ruang publik. Negara menjamin kebebasan bagi semua warga negara untuk mengekspresikan keagamaannya selama mengikuti aturan dan tidak mengganggu warga negara lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan payung untuk ekspresi keagamaan sekaligus menjadi penjaga bagi ekspresi keagamaan yang berlebihan dari satu pihak.
Inilah yang dimaksud, warga negara yang memeluk agamanya masing-masing,memiliki kedudukan yang sama dimata hukum.
Gus Dur mempopulerkan melawan simbolisme diruang publik dengan istilah pribumisasi nilai-nilai agama. Menurut Gus Dur, pribumisasi nilai-nilai agama adalah suatu pemahaman yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Dalam hal ini, Gus Dur menyatakan “Pribumisasi Islam” bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada usûl al-fiqh dan qawâ‘id al-fiqh. Di sini, wahyu-dalam pandangan Gus Dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan.
Membaca definis Pribumisasi nilai-nilai agama seperti yang Gus Dur sampaikan versus penggunaan simbolisasi agama di ruang publik, rasanya kita akan mendiskusikannya minggu depan. Mari kita diskuskan. Salam Kang Marbawi.