Memaknai Sila Pertama
“KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Pribumisasi Nilai-Nilai Agama di Ruang Publik
Bagian Kesepuluh
Oleh: Kang Marbawi
Salam sejahtera semoga kita semua saudara sebangsa setanah air, tetap sehat selalu, tetap memiliki kecintaan terhadap bangsa ini. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Indonesia ada dalam hati kita, tanah air yang harus kita bangun dengan segenap jiwa dan raga. Bangsa yang harus kita bersama majukan dengan segala upaya, sesuai bidang kita masing-masing.
Minggu lalu kita telah mendiskusikan simbolisme agama di ruang publik. Sila pertama memberikan jaminan kebebasan untuk mengekspresikan simbol agama di ruang publik. Namun sekaligus sila pertama juga menjadi penjaga agar simbol agama di ruang publik tidak boleh melanggar batas dan menyinggung hak warga negara lainnya atau pemeluk agama lain. Persoalan yang perlu ditegaskan adalah, tidak dibolehkannya pelabelan menggunakan simbol agama pada sesuatu yang umum dan ada di ruang publik dengan simbol tertentu. Seperti penyematan label “kue tidak islami” pada panganan tradisional kue klepon.
Ruang publik tidak bisa didominasi oleh satu simbol agama. Ruang publik adalah milik bersama. Dan negara menjadi penjaga agar ruang publik tersebut memberikan ruang bersama dan aman dari dominasi dan intimidasi dari satu kelompok tertentu. Ruang publik harus menjadi bagian dari proses edukasi masyarakat untuk saling menghargai adanya perbedaan dalam berbagai hal. Sebagai ruang edukasi bersama, maka ruang publik menjadi milik bersama yang harus dijaga dan dirawat bersama. Ruang publik yang dimaksud adalah ruang ekspresi bersama, dimana semua elemen masyarakat bisa terlibat. Sektor pendidikan, ekonomi, sosial, politik, yang diwakili dalam bentuk sederhana oleh institusi seperti sekolah, pasar, perumahan, lingkungan sosial masyarakat, termasuk media sosial dan lainnya adalah bagian dari ruang publik.
Namun demikian diakui bahwa di ruang publik, bisa dipastikan ada kontestasi dari semua kepentingan. Kontestasi tersebut berjalan, baik secara tersurat maupun tersirat. Namun demikian, dalam konteks kontestasi simbol agama di ruang publik, harus dihindari. Sebab kontestasi simbol agama di ruang publik akan memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan dan keharmonisan serta hubungan sosial antar warga masyarakat. Pemeluk agama dan tentu tokoh-tokoh agama, secara bersama-sama memiliki kewajiban untuk menjaga ruang publik ini dari adanya peluang konflik dan kontestasi berlebihan dari simbol agama.