Bahaya Jalan Pintas Sertifikasi Halal dengan Omnibus Law

0 Komentar

Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md
Pendidik Generasi Khoiru Ummah, Member AMK

Omnibus Law mengusik standar halal? Dengan disahkannya Omnibus Law atau UU Cipta Kerja, akan mengubah sistem penerbitan sertifikat halal. Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini Omnibus Law memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara Jaminan Prpduk Halal (BPJPH). Kebijakan tersebut sangat berbahaya, karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan antara satu produk dengan produk lain.
Dilansir oleh m.rri.co.id, 14/10/2020, diketahui ada sejumlah perbedaan mengenai ketentuan sertifikasi halal yang tertuang di UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
– Persyaratan auditor halal
Dalam Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan mengenai pengangkatan auditor halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Sedangkan, LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk.
Ada sejumlah persyaratan pengangkatan auditor halal oleh LPH, yakni:
(a) Warga negara Indonesia
(b) Beragama Islam
(c) Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi.
(d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam.
(e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan.
(f) Memperoleh sertifikat dari MUI.
Namun, pada UU Cipta Kerja persyaratan poin (f) ditiadakan. Sehingga, dalam pengangkatan auditor halal hanya berlaku lima persyaratan saja.
– Cara memperoleh sertifikat halal
Bab V Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjelaskan mengenai tata cara memperoleh sertifikat halal.
Pada pasal 29 ayat (1) dijelaskan permohonan sertifikat halal diajukan pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Pasal 29 ayat (2) disebutkan, permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dan proses pengolahan produk.
Kemudian, Pasal 29 (3) berisi ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal diatur dalam peraturan menteri.

0 Komentar