Dalam hal ini peran pemimpin adat dalam mengontrol dinamika masyarakat tersebut sangat besar. Di Kampung Naga pemimpin adat atau ketua adat disebut Kuncen. Kuncen merupakan tokoh kunci sekaligus pemimpin adat dalam proses pewarisan dan pelestarian nilai-nilai kearifan tradisional. Peranan adat yang kuat dalam mengatur hubungan masyarakat dengan alam diduga berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat dalam memitigasi bencana.
Penataan ruang kampung Naga yang dapat memitigasi bencana berpedoman pada konsep kosmologi Tri Tangtu di Bumi yang merupakan filosofi dasar masyarakat sunda (Rusmana, 2008). Konsep Tri Tangtu di Bumi, membagi dunia menjadi atas – tengah – bawah (Rusmana, 2008; Deny, 2008). Sejalan dengan hal tersebut masyarakat Kampung Naga pun membagi wilayahnya menjadi tiga, yaitu dunia atas (kawasan sakral) dunia tengah (kawasan netral) dan dunia bawah (kawasan buruk).
Kawasan sakral/dunia atas direpresentasikan oleh hutan keramat yang berada di atas bukit di bagian barat kampung. Kawasan netral/dunia tengah direpresentasikan oleh perumahan, sawah dan kebun campuran. Dunia bawah direpresentasikan oleh hutan larangan di sebelah timur kampung di seberang sungai Ciwulan.
Hutan keramat merupakan tempat leluhur Kampung Naga dikuburkan. Tempat tersebut merupakan tempat sakral yang dihormati. Dari tempat sakral ini mengalir kebaikan. Hutan keramat diwasiatkan untuk dijaga dan tabu untuk dimasuki atau mengambil apapun dari dalamnya, dan hanya boleh dimasuki oleh ketua adat (kuncen) pada saat upacara adat. Pohon-pohon di hutan keramat tidak boleh ditebang. Hutan keramat berperan sebagai hutan lindung karena melindungi kawasan di bawahnya yaitu kawasan perumahan dan pertanian (kebun campuran dan sawah) dari bencana longsor dan banjir. Hutan keramat yang berada di atas bukit, meresapkan air hujan, sehingga air hujan tidak membanjiri kawasan di bawahnya. Dalam hal ini masyarakat Kampung Naga mengatakan “leuweung mah imah kai, kai mah imah cai” artinya hutan tempat pepohonan, dan pepohonan rumah air. Hal itu menunjukkan, bahwa masyarakat paham bahwa hutan dapat mengatur tata air, agar tidak banjir dimusim hujan dan kering dimusim kemarau. Dengan demikian, menjaga kelestarian hutan keramat merupakan bentuk mitigasi non struktural yang dilakukan masyarakat adat untuk mengurangi bencana longsor dan banjir yang sesuai dengan amanat adat untuk selalu hidup selaras dengan alam. Kawasan netral/dunia tengah merupakan tempat masyarakat tinggal dan berkegiatan terdiri atas : perumahan, sawah dan kebun campuran.