Proyek megapolitan ini pada faktanya tak lepas dari jeratan utang luar negeri yang melibatkan banyak negara. Salah satunya Jepang. Apalagi belum lama ini Indonesia pun sudah kembali berhutang ke Negara Australia dan Jerman. Belum lagi jumlah utang-utang sebelumnya yang sampai saat ini hanya terbayar bunganya saja.
Mari kita analisis lebih mendalam, pembangunan Pelabuhan Patimban ini sebenarnya dibangun untuk kepentingan siapa? Kepentingan masyarakat atau hanya kepentingan sekelompok orang saja? Apalagi pelabuhan Patimban ini didedikasikan untuk kegiatan bisnis ekspor-impor industri otomotif (mobil). Tentu pemilik bisnis ini bukanlah masyarakat biasa, tapi para kapitalis pemiliki modal besar. Jangan sampai nanti rakyat terpinggirkan dan semakin bertambah sulit dengan kondisi ini. Dengan beban utang negara yang kian melangit membuat pungutan pajak kian mencekik. Karena kita ketahui bersama pemasukan APBN sebagian besar berasal dari pajak.
Tak kalah menyedihkan melihat kondisi masyarakat di sekitar Patimban. Pasalnya, lahan yang dipakai untuk pembangunan pelabuhan, sebagian besar adalah lahan sawah dan tambak. Puluhan warga menolak lepas lahan karena ganti rugi yang dinilai terlalu murah.
Jika lahan sawah yang dibebaskan untuk pembangunan pelabuhan seluas 369,5 Ha, dimisalkan produktivitas rata-rata sekali panen sebesar 5 ton/Ha, maka setiap satu periode panen akan kehilnagn produksi sebesar 1.982,5 ton gabah.
Belum lagi derita para nelayan Patimban yang mengalami penuruan pendapatan yang disebabkan oleh pencemaran dari aktivitas pembangunan pelabuhan. Belum lagi para pedagnag kecil, misal pedagang warteg yang ada di sekitar Patimban, suatu saat mereka akan tergeser oleh kehadiran hotel dan restoran besar disana.
Jika melihat fakta ini, sebenarnya pemerintah membanguan pelabuhan ini hanya untuk kepentingan para kapitalis. Hal ini semakin nyata bahwa pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator kepentingan para kapitalis. Sementara di sisi lain, masih banyak daerah tertinggal yang belum tersentuh dengan pembangunan. Fasilitas umumnya masih sangat memprihatinkan. Rata-rata minim perhatian dari pemerintah karena tidak adanya profit bagi mereka.
Mari kita komparasikan dengan sistem Islam ketika membangun infrastruktur. Islam tidak anti terhadap pembangunan infrastruktur, termasuk pembangunan pelabuhan. Bagi Islam pembangunan infrastruktur dilakukan untuk membangun dan meratakan ekonomi dan menyejahterakan rakyatnya. Karena itu Khalifah saat itu wajib membangun infrastruktur dengan baik, bagus dan merata sampai ke pelosok negeri. Dasarnya adalah kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib).