Oleh : Uqie Nai
Alumni Branding for Writer 212
Jalan Tol Cikampek sepertinya akan menjadi saksi bisu hilangnya nyawa enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) di tangan aparat kepolisian. Bahkan CCTP di lokasi jalan tol tersebut yang harusnya membantu menjelaskan dikabarkan tak berfungsi. Meski hingga detik ini masih menjadi berita simpang siur kebenarannya namun satu hal yang perlu digarisbawahi “murahnya nyawa manusia”.
Pihak kepolisian mengklaim bahwa mobil yang ditumpangi enam laskar FPI diduga hendak mengerahkan massa ke Jakarta, namun saat dihadang oleh aparat enam orang di dalam mobil itu menyerang dan menembaki aparat sehingga pihaknya membalas penyerangan tersebut. Sementara dari pihak FPI mengatakan aparat kepolisian telah berbuat fitnah keji. Laskar FPI datang mengawal HBRS dari kawasan Sentul menuju Karawang bukan Jakarta. Mereka tidak dibekali senjata tajam apalagi senjata api sebagaimana yang dituturkan polisi.
Insiden misterius yang menimpa enam laskar FPI sangat disayangkan terjadi terlebih melibatkan aparat kepolisian yang harusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat. Kejadian ini harus menjadi perhatian pemerintah secara serius dengan menurunkan penyidik independen agar kasusnya benar-benar terungkap secara jelas siapa dalang sebenarnya. Namun, sejauh ini Presiden Jokowi yang diharapkan segera bertindak pun masih belum bereaksi. Kemanakah gerangan demokrasi?
Entah sudah berapakali aparat penegak hukum negeri ini terlibat aksi horor dengan masyarakat. Mirisnya sikap yang ditunjukkan begitu reaktif jika berhadapan dengan warga yang bersebrangan dengan kebijakan penguasa. Siapapun ia, masyarakat biasa, ustadz, mubaligh atau ulama sekalipun ketika tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah mudah sekali jadi objek penangkapan. Beberapa dari mereka hingga kini masih menghuni jeruji besi terjerat pasal karet dengan tuduhan teroris, radikal, pemecah persatuan dan kesatuan, ujaran kebencian, hoax, dll. padahal mereka hanya mengkritisi kebijakan yang bertentangan dengan hati nurani yang bahkan merupakan perintah agama dalam rangka saling menasehati dan mengkritisi agar kehidupan berjalan seimbang.
Aparat penegak hukum memang tidak akan bertindak sesuka hati jika bukan karena adanya perintah ataupun aduan. Hanya saja kecermatan bertindak agar tidak salah sasaran harus dipikirkan secara matang. Sayangnya, sistem di negeri ini tidak memungkinkan edukasi berimbang terhadap warga dan aparat, celah kritik yang harusnya dilindungi undang-undang, siapa saja bisa menyampaikan pendapat, masukan serta penolakan atas beragam kebijakan terbentur UU ITE. Akhirnya menjadi serba salah. Diam menerima kezaliman atau kritis di bawah bayang ancaman.