Oleh : Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif
Dua bulan berlalu setelah disahkannya RUU cipta kerja, nyatanya masih menyisakan permasalahan yang mengganjal. Rancangan Undang-undang yang telah memicu gelombang demonstrasi di berbagai wilayah ini masih menuai kritik, karena hingga kini naskah akhirnya tidak juga mampu ditunjukkan baik oleh pemerintah maupun DPR. Naskah ini diduga banyak memuat ketentuan bermasalah dan mengandung kecacatan. Namun pemerintah bersikeras membantah berbagai kritik yang ditujukan pada UU cipta kerja tersebut dan menganggapnya sekedar hoaks dan disinformasi.
Namun tidak lama berselang pasca disahkannya RUU tersebut 5 Oktober 2020 silam, salah satu gugatan pengujian UU No 11 tahun 2020 tentang cipta kerja yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi telah ditarik oleh pemohon yang ketiganya merupakan warga Papua bernama Zakarias Horota, Agustinus R.Kambuaya, dan Elias Patege. (Kompas.com 25 November 2020)
Sampai saat ini belum jelas, apa motivasi dibalik pencabutan gugatan tersebut. Dalam pengajuan tersebut ketiganya sempat mempersoalkan proses pembuatan Undang-undang yang dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemohon juga mempersoalkan proses penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang juga diatur dalam UU cipta kerja tersebut.
Di tengah gelombang penolakan terhadap RUU omnibus law ini, ada pendapat berbeda yang dikemukakan oleh Sekretaris utama BPIP, Karjono setelah menjadi pembicara pada sebuah diskusi bertemakan “Institusionalisasi Pancasila dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” Karjono menyatakan bahwa Omnibus Law UU cipta kerja sudah sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. (Republika.co.id 28 November 2020)
Pada laman yang sama Karjono menyatakan bahwa melalui UU tersebut masa waktu perizinan investasi akan mengalami pemangkasan, mempermudah pendirian perseroan terbatas (PT) karena tidak lagi memerlukan modal pendirian (gratis). Pemberian pesangon juga ditetapkan paling tinggi 25 kali gaji. Karjono menegaskan bahwa kalau pun terjadi kesalahan-kesalahan itu hanya bersifat teknis dan manusiawi semata. Untuk itu ia mengajak agar seluruh pihak sama-sama merasa nyaman dan berpikir positif agar terjalin sinergitas yang baik demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Inilah ironi negeri penganut demokrasi. Proses legislasi kebijakan nyatanya tidak selalu sejalan dengan suara rakyat. Negara tak ubahnya hanya sebagai lembaga untuk melegitimasi kebijakan yang sesuai dengan kepentingan rezim. Demokrasi yang diemban negeri ini nyatanya adalah produk pemikiran asing yang diadopsi. Sedikit ulasan mengenai demokrasi itu sendiri. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dicetuskan di Athena atas prakarsa Cleisthenes pada abad ke-5 sebelum Masehi. Demos artinya rakyat, sementara cratos/Kratien/Kratia yang diartikan sebagai kekuasaan, berkuasa, atau pemerintahan. Jadi, demokrasi bisa didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.