Sungguh ironi, padahal jika kita telusuri Indonesia merupakan negara yang dianugerahi potensi sumber daya alam yang berlimpah. Mulai dari potensi hutan, laut, sumber daya mineral, tambang hingga energi. Bahkan, sampai ada julukan negeri ini adalah tanah surga dimana tongkat , kayu dan batu jadi tanaman. Salah satu contoh potensi kelautan menurut perhitungan Departemen Kelautan dan Perikanan, potensi lestari ikan tangkap adalah 6,4 juta ton per tahun. Selain itu terdapat potensi perikanan budi daya berpuluh kali lipat, di darat dan di pesisir sepanjang 95.000 kilometer. Banyak sekali dari pesisir yang dapat dikembangkan menjadi kawasan industri mineral laut, energi laut dan pariwisata bahari.
Semestinya mampu secara mandiri untuk memenuhi keperluan, sehingga tidak melakukan pinjaman utang. Namun sayang sumber daya alam yang ada belum berhasil mengatasi masalah baik ekonomi maupun sosial di negeri ini seperti kemiskinan. Bahkan belum mampu menyejahterakan Indonesia. Masyarakat masih susah dan kesulitan membiayai pendidikan, kesehatan dan perumahan.
Permasalahan bertambahnya utang, kemiskinan, semua itu tiada lain akibat penerapan sistem kapitalisme sekulerisme saat ini. Sebuah sistem yang cacat sejak lahir, sistem hasil dari pemikiran manusia yang serba lemah namun penuh syahwat terhadap materi. Sistem ini telah menghantarkan negara menjadikan utang sebagai solusi ekonomi. Padahal tanpa terasa di dalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Maka hal ini semakin membuka mata kita bahwa ketika sistem kapitalisme sekulerme dianut, niscaya hanya kegagalan yang didapat. Hal itu dikarenakan dalam mengelola sumber daya alam dan kekayaan negeri ini dieksploitasi dan diprivatisasi oleh individu atau bahkan swasta asing dan aseng.
Dalam Islam utang tidak menjadi pilihan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi negara. Islam melarang praktik utang berbasis ribawi. Nabi saw. bersabda:
“Rasulullah saw melaknat pemakan riba yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda, mereka semua sama.” (HR.Muslim)
Dalam Islam pemasukan negara berasal dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas ala, kehutanan dan lainnya. Harta baitulmal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.