Tidak seperti yang terjadi pada saat ini ketika terjadi lonjakan Covid-19 justru pemerintah kalang kabut dan saling tunjuk dengan data yang dimiliki. Dikarenakan abainya pemerintah dalam memutus tersebarnya Covid-19, dan masyarakat yang kurang paham seperti apa gejala-gejala tersebut, sehingga dalam masa wabah, masyarakat masih beraktifitas seperti biasa.
Data yang tidak akurat berakibat fatal bagi masyarakat lainnya. Nyawa masyarakat menjadi taruhan karena penyebaran virus yang melonjak sangat cepat. PSBB yang pernah diberlakukan justru berefek terhadap perekonomian yang melemah, begitupun dengan new normal justru menimbulkan klaster baru, karena tidak disertai pemisahan yang sakit dengan yang sehat.
Negara dalam sistem demokrasi kapitalis terbukti telah gagal menghadapi pandemi ini dan gagal menyelamatkan nyawa dari rakyatnya. Bukannya mencari solusi agar lonjakan tidak terus meningkat, malah mereka sibuk mengurusi kepentingan sendiri yang menurutnya menguntungkan bagi kekuasaan dan ekonominya agar tetap bertahan dalam jabatannya.
Semua itu tampak nyata dalam kebijakan yang dibuat dalam Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona. Dalam Perpu tersebut pemerintah mengalokasikan anggaran yang justru berorentasi pada sektor ekonomi.
Pemerintah mengklaim telah mengalokasikan dana sebesar Rp 405,1 triliun di bidang kesehatan, namun nyatanya hanya Rp 75 triliun yang secara langsung berhadapan dengan wabah Covid-19. Tentunya jauh lebih kecil dengan anggaran untuk jaring pengaman sosial sebesar Rp 110 triliun, untuk pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun dan sebesar Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR). Menjadi suatu yang tak lazim, menurut perpu ini pejabat yang mengeluarkan kebijakan tidak bisa dituntut baik pidana maupun perdata. Kebijakan ini pula tidak bisa digugat ke PTUN karena uang yang dikeluarkan tidak bisa dianggap kerugian negara.
Jelas sekali Perpu ini lebih tepat disebut sebagai kebijakan untuk menyelamatkan keuangan negara dan memberikan imunitas kepada pejabat negara, ketimbang menyelamatkan nyawa masyarakat dari ancaman Covid-19. Parahnya lagi di tengah lonjakan Covid-19 pemerintah masih nekad untuk mengadakan pilkada, dengan dalih tidak ada Undang-Undang yang mengatur penundaan pilkada di masa wabah.