Oleh : Shinta Dewi
Ibu Rumah Tangga
Seakan menjadi sesuatu yang harus diselenggarakan perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 di Kabupaten Bandung tetap berjalan, walaupun di tengah kasus positif Covid-19 yang terus bertambah. Terkonfirmasi kasus positif Covid-19 di Kabupaten Bandung mencapai 2005 kasus per tanggal 3 Desember 2020. Sampai saat ini pemerintah daerah bersama unsur Forum Komunitas Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Bandung gencar melakukan sosialisasi dan edukasi penegakkan disiplin protokol kesehatan pencegahan Covid-19 (Dara.co.id 4/12/2020).
Sudah barang tentu dilaksanakannya pilkada di tengah pandemi ini menjadi kekhawatiran masyarakat akan timbulnya klaster-klaster baru penyebaran Covid-19. Namun ada juga masyarakat yang berantusias untuk memberikan suaranya dengan harapan pemimpin yang mereka pilih bisa memberikan perubahan yang lebih baik. Di sisi lain ada masyarakat yang enggan memberikan suaranya dengan alasan takut tertular, selain itu ada juga yang tidak menggunakan hak suaranya dikarenakan ketidakpercayaannya kepada calon kepala daerah dan pemerintahan pada saat ini. Bukan tanpa alasan masyarakat yang tidak ikut memilih sudah bosan dengan janji-janji manis kampanye yang pada faktanya hanya lipservice saja. Visi dan misinya akan terlupakan jika mereka terpilih.
Memang akan sangat sulit mencari pemimpin yang amanah pada negara yang menerapkan sistem kapitalis demokrasi. Tujuan dan orientasi dalam sistem ini hanya mencari jabatan, kekuasaan untuk mendapatkan manfaat keduniaan semata. Sebagaimana yang telah jamak diketahui, dalam sistem demokrasi ada 4 kebebasan: yang pertama adalah kebebasan beragama, kedua adalah kebebasan berpendapat, ketiga kebebasan kepemilikan, dan yang keempat adalah kebebasan berprilaku. Begitu pula dengan paham pemisahan agama dari kehidupan atau sekularisme yang lahir dari sistem ini akibatnya berbagai bentuk tatanan kehidupan akan jauh dari nilai-nilai agama.
Bukti rusaknya demokrasi dalam berbagai hal tak terbantahkan lagi. Menghasilkan para pejabat korup, berpihak pada asing dan aseng bukan pada rakyat, pendidikan dan kesehatan mahal, utang semakin menggunung, kemaksiyatan dimana-mana. Tapi anehnya yang diburu adalah para ulama. Sungguh tidak akan ada kebaikan tatanan kehidupan berdasarkan kebebasan. Dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah omong kosong sulit dibuktikan. UU Omni bus law nyata-nyata ditolak rakyat tetap melenggang. Maka sudah sepantasnya pilihan rakyat mesti tertuju pada sosok pemimpin juga sistem yang akan digunakan dalam kepemimpinannya.