Tidak adanya nash qath’i yang berkaitan dengan tindak kejahatan korupsi bukan berarti tidak ada hukum Islam yang mengaturnya. Sanksi dalam perkara ini termasuk sanksi ta’zir, yakni hukuman yang memberi kewenangan kepada seorang hakim (imam/ pemimpin) untuk menetapkan sanksi sesuai dengan ketentuan syariat bentuk sanksi tertentu yang efektif dan sesuai dengan kondisi ruang dan waktu, di mana kejahatan tersebut dilakukan.
Dalam pidana korupsi, sanksi yang diterapkan bervariasi sesuai dengan tingkat kejahatannya mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan hak-hak tertentu sampai hukuman mati. Umar bin Abdul Aziz memetapkan hukuman bagi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam waktu yang sangat lama. Zaid bin Tsabit menetapka sanksi koruptor yaitu dikekang (penjara) atau hukuman yang bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.). Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.
Tentu saja penegakan hukum tidak cukup, namun perlu perbaikan sistem dan pengawasan kinerja. Dalam hal ini negara Islam memiliki instrumen pencegahan dan penindakan bila ada pejabatnya yang terdeteksi melakukan korupsi. Di antara pencegahan tersebut adalah:
Pertama, menyelenggarakan pendidikan yang membangun keimanan dan ketakwaan bagi setiap individu muslim. Rakyat yang dididik dalam sistem pendidikan Islam ini memiliki rasa takut kepada Allah dan sikap muraqabah (selalu merasa diawasi Allah).
Suasana amar makruf nahi mungkar serta saling mengingatkan akan tercipta di lingkungan keluarga dan masyarakat. Masyarakat akan melakukan pengawasan terhadap segala bentuk penyimpangan dan kemaksiatan. Sistem pendidikan berbasis akidah Islam akan menghasilkan manusia berkepribadian Islam. Pola pikir d an pola tindaknya senantiasa bersandar pada syariat Islam, termasuk jujur dan amanah dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai pejabat publik.
Kedua, pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Dengan begitu, pemberian gaji yang cukup bisa meminimalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan. Kebutuhan dasar dan kebutuhan pokok rakyat dipenuhi oleh negara sehingga mudah diperoleh tanpa membutuhkan harta yang banyak.