Oleh : Inayah
Aktivitas: Ibu Rumah Tangga Dan Pegiat Dakwah
Kemiskinan selalu meningkat tiap tahunnya. Nasib masyarakat pun tidak pernah beranjak lebih baik. Terlebih sejak dunia ini ditimpa musibah wabah Corona, sehingga kemiskinan di belahan dunia semakin meningkat.
Untuk mengatasi dan mencegah agar angka kemiskinan menurun, maka pemerintah berusaha dengan mengucurkan dana bantuan sosial kepada warga yang terdampak pandemik Covid-19. Bank Dunia berharap dengan diberikannya stimulus program perlindungan sosial dari pemerintah merupakan kunci untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat dari krisis Covid-19.
Dalam laporannya, Bank Dunia menyebutkan besaran dana yang dikucurkan pemerintah tersebut akan menentukan apakah masyarakat akan jatuh ke dalam jurang kemiskinan atau sedikit terangkat nasibnya dengan bantuan tersebut.
“Simulasi kami ini, kalau pemerintah tidak memberikan perlindungan sosial, maka sebanyak 8,5 juta masyarakat Indonesia bisa jatuh miskin akibat krisis ini,” menurut pemaparan mereka. (kontan.co.id, 20/12/2020)
Standar kemiskinan menurut BPS, penduduk miskin adalah orang yang pengeluarannya kurang dari garis kemiskinan. Garis itu dibuat oleh BPS dengan menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar yang dinyatakan dalam nilai pengeluaran dalam rupiah. Garis kemiskinan Nasional pada Maret 2020 sebesar Rp454.652 perkapita perbulan. Jadi menurut standar BPS, seseorang dikatakan miskin bila pendapatannya di bawah Rp454.652 perkapita perbulan. Jika masih dalam kisaran angka tersebut maka orang itu belum terkategori miskin.
Apakah standar ini sesuai dengan realita? Sayangnya tidak. Sebab, meski sebagian rakyat memiliki pendapatan di atas Rp450.000, belum tentu rakyat mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kemiskinan adalah fakta yang jika dilihat dari sudut pandang manapun, harusnya memiliki pengertian yang sesuai dengan realitasnya. Sayangnya peradaban kapitalisme memiliki gambaran angka kemiskinan yang berbeda-beda. Kaum kapitalis menganggap kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang ataupun jasa secara mutlak. Akibatnya, standar kemiskinan ala kapitalis tidak memiliki batasan yang jelas atau baku. Sehingga pada akhirnya standar kemiskinan di berbagai negara akan beragam.
Standar kemiskinan yang dihitung dengan angka tanpa memperhatikan realitasnya ibarat gunung es. Artinya bahwa yang tidak tampak di atas kertas bisa jadi lebih banyak lagi. Garis kemiskinan seperti ini juga berpeluang dapat diubah sesuai dengan kepentingan mereka yang sedang berkuasa. Dengan perubahan standar kemiskinan, para penguasa bisa mengklaim angka kemiskinan mengalami penurunan, sehingga ia akan dianggap sebagai pemimpin yang berhasil mengatasi kemiskinan rakyatnya.