Demokrasi di Tengah Pandemi, Dimanakah Hati Nurani?

Demokrasi di Tengah Pandemi, Dimanakah Hati Nurani?
0 Komentar

Didapati fakta di salah satu kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Serang, Banten terdapat peningkatan jumlah terkonfirmasi Covid-19. Juru bicara Satgas Ati Pramuji menyatakan daerahnya saat ini menjadi zona merah, dikarenakan dampak dari dominasi kasus positif dari klaster Pilkada. Baik saat pencoblosan maupun sebelumnya selama proses menuju Pilkada. (tirto.id (Senin, 14/12/20).
Masih dari laman yang sama, pada hari pemilihan Satgas Covid-19 Serang, mencatat ada 1.047 kasus terkonfirmasi. Kemudian angkanya bertambah 190 sehingga menjadi 1.237 kasus. Seminggu sebelum pencoblosan ada 956 kasus, lalu bertambah 91 pada hari pencoblosan. Fakta tersebut hanya salah satu contoh saja dan kemungkinan di tempat lain pun tidak jauh berbeda.
Jika ditelisik lebih mendalam Pilkada serentak yang baru saja usai digelar terlebih di tengah pandemi ini, sangat sarat kepentingan. Selain untuk memilih kepala daerah manfaat yang lainnya adalah  karena Pilkada adalah sebuah momentum untuk memanaskan mesin politik menuju pemilu 2024. Sebagaimana biasanya setiap partai politik akan mendorong kadernya secara habis-habisan agar dapat menduduki kursi kepala daerah. Dan dapat dipastikan semakin banyak kader yang sukses menduduki kursi kepala daerah maka jalan untuk menyongsong pemilu 2024 akan lebih mudah.
Kebijakan yang terkesan memaksa dan cenderung mengesampingkan kesehatan serta nyawa manusia, bukan hal yang baru dalam negara yang mengemban sistem kapitalisme demokrasi. Mengagungkan manfaat dan kepentingan menjadi tolak ukur suatu perbuatan, sedangkan kemaslahatan umum dan menjaga nyawa manusia belum menjadi prioritas utama.
Memaksakan Pilkada di tengah pandemi seperti ini, semakin menunjukan bahwa demokrasi mengesampingkan rasa kemanusiaan, hanya mementingkan kekuasaan dan abai terhadap pandemi yang sudah menghilangkan ribuan nyawa manusia. Demokrasi yang merupakan turunan dari kapitalisme sejatinya sudah cacat dari lahirnya. Jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat kenyataannya hanya ilusi semata.
Tokoh pengusung demokrasi yang terkenal dari Yunani yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles juga pada akhirnya tidak yakin pemikirannya dapat berjalan dan dipraktekkan dengan baik. Sebab bagaimana mungkin keputusan yang sangat penting diserahkan kepada suara mayoritas yang tidak memiliki kemampuan berpikir sama satu dengan lainnya. Ibarat menyamakan suara seorang filosof dengan seorang petani yang buta huruf.

0 Komentar