Namun hari ini, penanggalan secara umum tidak hanya dari kalender masehi. Ada penanggalan hijriah yang berasal dari islam dan juga memberikan sumbangsih tersendiri dalam metode penetapan waktu, hari, bulan, dsb. Tentu saja akhirnya ada juga yang dinamakan Tahun Baru Hijriah atau Tahun Baru Islam yang ditandai saat Rasul Hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Persoalan kemudian bukan hanya pada aspek adanya penanggalan ini saja, melainkan juga pada budaya dan kebiasaan. Penanggalan masehi pada sebagian orang islam dianggap tidak sesuai dengan islam. Namun, dilemanya pada banyak orang di belahan dunia manapun menggunakan penanggalan ini sebagai patokannya. Begitupun perusahaan, dalam berbisnis, proses evaluasi dan tutup buku. Selalu berdasarkan pada penanggalan Masehi.
Lantas bagaimanakah jika tahun baru masehi ini menjadi patokan umat islam dalam keseharian. Dan bagaimanakah hukum merayakan tahun baru masehi dalam islam? Untuk menjawab lebih jelas mengenai masalah tersebut, tentu diperlukan pendekatan yang lebih integral melalui ayat-hadist dan dasar-dasar hukum islam yang lainnya.
Apalagi jika di dalamnya terdapat unsur unsur hedonisme, hura-hura atau berfoya-foya. Perayaan tahun baru ini ada dasarnya adalah bukan hari raya umat islam melainkan perayaan dari para orang-orang non muslim khususnya kaum nasrani.
Dalil keharamannya ada 2 (dua); Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum Muslimin menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar). Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum Muslimin merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yaadihim).
Dalil umum yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah SWT yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104).
Ayat ini ditafsirkan oleh Imam Ibnu Katsir bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan maupun perbuatan. Orang yahudi sering menggunakan kata ru’uunah yang memiliki arti bodoh sekali sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW. Padahal maksudnya adalah raa’ina yang artinya perhatikanlah kami. Penafsiran ini berasal dari Tafsir Ibnu Katsir.