Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa dan pemimpin negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara. Dalam konteks global, di semua negara yang menganut kapitalisme-liberalisme-sekularisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial. Hari ini ada 61 orang terkaya telah menguasai 82 persen kekayaan dunia. Di sisi lain sebanyak 3.5 miliar orang miskin di dunia hanya memiliki aset kurang dari US$ 10 ribu. Bahkan harta 26 orang terkaya di dunia setara dengan setengah populasi dunia atau 3,8 miliar jiwa orang miskin (The Guardian, 21/01/19) .
Standar kemiskinan pun ditetapkan berdasarkan pendapatan, bukan pada terpenuhinya pemenuhan kebutuhan pokok. PBB pada tahun 2015 telah merevisi pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1,25 dolar (AS) menjadi 1,9 dolar (AS). Berdasarkan standar ini orang dinyatakan sangat miskin jika memiliki pendapatan kurang dari 1,9 dolar perhari (sekitar Rp 27.550,- perhari).
Bayangkan, setiap orang dengan pendapatan Rp 27.550,- ribu rupiah perhari, misalnya, dianggap telah sejahtera. Mereka dianggap bukan orang miskin, padahal dengan uang sebesar itu kemungkinan hanya cukup untuk makan sehari, ditambah jika anggota keluarga tidak hanya satu. Lagi pula, manusia hidup tak cuma butuh makan. Manusia hidup juga butuh pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, biaya transportasi, dll. Faktanya, semua itu tidak gratis. Sehingga wajar, meski angka kemiskinan dikatakan menurun, realitas di lapangan tidaklah demikian.
Berbeda dengan Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak.
Terkait perlindungan sosial yang dijalankan pemerintah saat ini, patut digarisbawahi bahwa kemiskinan massal yang menimpa rakyat hari ini, sungguh tak bisa diselesaikan hanya dengan perbaikan teknis agar pemberian bantuan sosial tepat sasaran. Sungguh, langkah tersebut bukanlah solusi mendasar. Karena justru dengan pemberlakuan sistem politik demokrasi-lah yang meneguhkan eksistensi kemiskinan itu sendiri