Dewasa ini, persoalan moralitas akibat krisis karakter marak terjadi di kalangan pelajar. Tawuran antar pelajar, bullying, pergaulan bebas, kekerasan terhadap guru dan orang tua, pornografi, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya adalah deretan contoh permasalahan yang muncul karena lemahnya pendidikan karakter. Mencermati fenomena yang ada, pelaksanaan pendidikan karakter bagi peserta didik sejatinya harus tetap menjadi prioritas.
Sekolah adalah institusi pendidikan yang bertanggung jawab menngembangkan pengetahuan, keterampilan serta karakter peserta didik. Orang tua menaruh harapan dan kepercayaan kepada sekolah sebagai pusat pendidikan bagi anak-anaknya, baik itu dalam hal akademik maupun pembentukan karakternya. Meski seharusnya pendidikan karakter ini bukan sepenuhnya murni tanggung jawab sekolah, tetapi peran orang tua juga sangat penting dalam pengembangan karakter anak. Namun, karena selama ini sebagian besar waktu anak lebih banyak di sekolah, maka proses pembentukan nilai-nilai karakter siswa berjalan seiring dengan proses pembelajaran di sekolah.
Sejak terjadi pandemi dan sekolah-sekolah ditutup, keberlangsungan pendidikan karakter peserta didik belum terlaksana sesuai harapan. Selama masa pandemi, pembelajaran dilakukan dengan berbasis online. Pembelajaran berbasis online ini membuat siswa secara tidak langsung kehilangan role model dan sosok yang menjadi panutan. Salah satu kunci pendidikan karakter adalah adanya role model individu berkarakter. Di sekolah, yang menjadi role model bagi siswa dalam menumbuhkan nilai-nilai karakter adalah sosok guru. Guru yang berkarakter akan mampu menunjukkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai ajaran agama dalam kesehariannya sehingga dapat ditiru oleh peserta didik. Pada prinsipnya seorang anak adalah peniru. Siswa akan mudah mengembangkan karakternya dengan meniru atau menyaksikan perilaku gurunya. Namun selama masa pandemi, hal ini tentu tidak dapat terjadi, dimana siswa secara penuh melakukan kegiatan BDR. Pada masa pandemi ini, guru tidak bisa memantau perkembangan perilaku siswa, guru tidak bisa membimbing secara langsung apabila siswa melakukan kesalahan. Padahal, hal tersebut merupakan salah satu bentuk pendidikan karakter di sekolah.
Selain karena tidak ada sosok guru yang membimbing secara langsung, penggunaan teknologi digital selama kegiatan BDR, tidak menjamin peserta didik aman dari paparan konten-konten negatif di dunia maya. Minimnya pengawasan dari orang tua, selama BDR, tidak sedikit siswa yang orang tuanya tidak ada di rumah disaat mereka belajar, karena harus bekerja. Hal ini tentunya dapat membuat siswa dapat dengan leluasa mengakses hal-hal yang tidak sesuai yang banyak bertebaran di internet. Pada pembelajaran daring seperti ini guru hanya bisa semampunya memantau perilaku siswa, misalnya dari kedisiplinan mengisi daftar hadir online atau keaktifan siswa dalam pembelajaran. Namun hal tersebut rawan untuk dimanipulasi oleh siswa yang tidak mendapat kontrol penuh dari orang tua. sebagai contoh misalnya, saat menggunakan virtual meeting, ada saja siswa yang hanya sekedar absen, kemudian mematikan video selama pembelajaran berlangsung, bahkan meninggalkan room dan tidak mengikuti pembelajaran. Penggunaan teknologi digital ini juga tidak jarang membuat siswa berbohong kepada orang tuanya, dengan dalih belajar online, justru banyak yang malah memanfaatkan internet untuk membuka hal-hal berbau pornografi , ataupun bermain game online. Hal ini tentunya sudah merupakan contoh buruk nilai moral dan mengindikasikan kemerosotan nilai karakter.