Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md
Pegiat Literasi, Member AMK
Problematika pada perempuan dari tahun ke tahun belum menemukan solusi tuntas untuk mengakhirinya. Dalam sistem kapitalisme-sekularisme saat ini, problematika perempuan diselesaikan hanya dengan memperbaiki aturan agar lebih mendorong ke arah kebebasan, terbukti malah melahirkan masalah baru.
Sebagaimana dilansir oleh money.kompas.com (20/12/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan banyak negara di dunia, termasuk Indonesia yang hingga saat ini masih menempatkan kedudukan perempuan di posisi yang tidak jelas. Berdasarkan hasil studi Bank Dunia, ada lebih dari 150 negara memiliki aturan yang justru membuat hidup perempuan menjadi lebih susah.
Sebagai contoh, di beberapa negara bayi perempuan yang baru lahir tidak bisa langsung mendapatkan sertifikat atau akte kelahiran. Di sisi lain, tidak semua negara memprioritaskan anak perempuan untuk mendapatkan imunisasi. Dan ketika sebuah keluarga mengalami keterbatasan ekonomi, yang akan didahulukan untuk mendapatkan akses pendidikan, yakni bersekolah adalah anak laki-laki. Kemudian jika dia sudah bekerja, tidak boleh punya rumah atau toko atau usaha atas nama perempuan tapi harus atas nama laki-laki, dan itu membuat perempuan tidak bisa mendapatkan akses mendapat kredit ke bank.
Sri Mulyani pun mengatakan kerap kali pengorbanan perempuan di kondisi tersebut dianggap sebagai kewajaran. Dan hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Berbagai halangan yang spesifik harus dihadapi oleh perempuan, itu seharusnya tidak membuat perempuan menjadi mudah menyerah.
Mengenai sosok perempuan tak akan habis untuk dibicarakan. Sosoknya memang sudah mengalami pergeseran yang sangat tajam. Hal itu terjadi sejak arus emansipasi dihembuskan. Perempuan didorong misi untuk mengejar peran sama persis dengan laki-laki, bahkan kalau bisa melampaui. Paradigma kesetaraan gender itu dilahirkan oleh ideologi kapitalisme-sekularisme, yang menganggap agama sebagai faktor penghambat kemajuan perempuan. Padahal, justru dengan mengajarkan paham kebebasan dan materialisme, perempuan terbelok jauh dari fitrahnya. Terjadi dehumanisasi, eksploitasi dan pelecehan terhadap perempuan. Perempuan sekuler jatuh dalam kerendahan harkat dan martabat. Harga dirinya diukur dari penampilan fisik, tinggi dan berat badan, warna kulit, pakaian yang dikenakan, merek sepatu atau tasnya, serta jabatannya di ranah publik. Lahirlah perempuan yang sejatinya menderita lahir dan batin.