Selain kelelahan bekerja karena beban kerja yang tinggi, ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang melindungi dari paparan virus corona juga berkontribusi pada kematian tenaga kesehatan.
Kunci untuk menekan angka kematian tenaga medis dan kesehatan adalah pada penurunan kasus. Selain itu adalah pemberian bekal yang cukup bagi para tenaga kesehatan, baik berupa APD yang mencukupi, vaksinasi, asupan gizi, hingga kesejahteraan ekonomi. Ini semuanya bertumpu pada upaya penguasa untuk membuat serangkaian kebijakan yang bisa menekan angka penularan Covid-19.
Memang ada faktor kelalaian sebagian masyarakat seperti adanya orang-orang yang tidak taat protokol kesehatan. Namun, dalam sebuah negara, rakyat ibarat tubuh dan penguasa ibarat kepala. Kepala (dengan otak di dalamnya) bisa memerintah anggota tubuh ainnya untuk melakukan ini dan itu.
Demikian juga negara. Jika penguasa tegas mencegah terjadinya kerumunan, rakyat pasti akan mengikuti. Sayangnya ketegasan ini tidak terwujud, penguasa terkesan plinplan dalam menegakkan disiplin protokol kesehatan.
Ada individu yang diberi sanksi karena dianggap mengundang kerumunan, tapi penguasa sendiri banyak membuat kerumunan selama pilkada. Akibat longgarnya penguasa, rakyat juga ikut longgar, protokol kesehatan banyak diabaikan. Akibatnya, tenaga kesehatan yang kena getahnya, pasien Covid-19 membludak.
Sebuah negara harus memiliki prioritas dalam kebijakannya. Persoalan yang penting dan mendesak harus didahulukan. Kesehatan dan keselamatan nyawa rakyat seharusnya lebih diprioritaskan daripada perhelatan pilkada yang didominasi hasrat pribadi untuk berkuasa.
Kita sebagai rakyat bisa mendukung para tenaga kesehatan dengan menjaga diri kita agar jangan sampai tertular Covid-19 dengan disiplin protokol kesehatan. Namun apa yang terjadi pada para tenaga medis di masa pandemi ini seharusnya menyadarkan kita, dalam negara demokrasi, kontestasi kekuasaan lebih dipentingkan daripada nyawa rakyat.
Dalam Islam, nyawa manusia adalah hal yang sangat dijaga. Para pemimpin kaum muslimin (Khalifah) selalu berupaya mewujudkan hifdzu an-nafs (penjagaan nyawa manusia) sebagai bagian dari maqashidu asysyariah. Seperti Khalifah Umar bin Khaththab yang menangis setiap malam karena khawatir akan beratnya hisab atas rakyat yang menjadi tanggung jawabnya.