Oleh : Faridz Nurul Mubaroq
Mahasiswa Fisip Uin Sunan Gunung Djati
Covid-19 menjadi pandemi internasional bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Sebagai masyarakat tidak aneh lagi ketika setiap harinya seluruh media cetak dan televisi selalu menyuguhkan berita tentang kasus Covid-19 tersebut.
Setiap negara memiliki strategi masing-masing untuk mengurangi penyebaran virus tersebut. Termasuk Indonesia yang sudah menerapkan protokol kesehatan, dari mulai memakai masker ketika keluar rumah, mencuci tangan, dan bekerja di rumah (WFH).
Tak hanya itu, untuk menanggulangi penyebaran wabah virus Corona, pemerintah Indonesia juga bekerja keras mengantisipasi akan meledaknya angka penyebaran virus tersebut dengan cara mendatangkan vaksin yang saat ini kelayakannya sedang di proses oleh BPOM.
Tantangan besar kali ini yang menghadang bangsa kita dari persebaran Covid-19. Pemerintah Indonesia terlihat agak kebingungan menghadapi efek keberlanjutan dari virus ini. Bahkan narasi yang dibangun masing-masing pejabat negara saling bertolak belakang satu sama lainnya.
Disamping itu keterbukaan informasi dan data yang dikeluarkan oleh pemerintah masih banyak dipertanyakan kebenarannya, misalnya karena ada ketidak sesuaian antara data pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Belum lagi sangat minimnya alat rapid test yang diselenggarakan oleh pemerintah, yang menjadikan Indonesia termasuk negara dengan skala rendah dan rangking persentase negara-negara dunia untuk tes virus corona.
Selain itu, kondisi politik kita tak lama sebelum pandemi Covid-19 dapat dikatakan mengalami turning point bagi demokrasi. Ini sebenarnya hanya kelanjutan dari situasi yang secara umum tengah terjadi. Kondisi ini tercermin dari upaya pemerintah menelurkan berbagai kebijakan kontroversial, yang kemudian ramai disoroti dan dikritisi oleh masyarakat.
Ketiga kebijakan itu adalah (1) Revisi UU KPK atau di kalangan pegiat demokrasi dikenal sebagai UU pelemahan KPK; (2) UU KUHP, yang membuka peluang intervensi kepentingan negara dalam ranah privat; dan (3) RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, yang dalam banyak aspeknya lebih memberikan keuntungan kepada kaum pebisnis besar atau investor ketimbang pekerja/buruh.
Dua yang pertama telah memicu ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia untuk kembali ke jalan. Meski kemudian berhasil diredam oleh aparat, sebagian dilakukan dengan menggunakan kekerasan. Apa yang diperjuangkan pun akhirnya menjadi sia-sia karena baik pemerintah maupun legislatif tetap dengan pendiriannya untuk menetapkan Undang-Undang tersebut.